بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
Secara bahasa, zakat berarti an-namaa (tumbuh),
az-ziyadah (bertambah), ash-sholah (perbaikan),
menjernihkan sesuatu, dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk
menyucikan dirinya.
Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, yang artinya
berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata “fithri” karena “fithri”
(tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut (al-Mawsu’ah
al-Fiqhiyah 2/8278). Ada pula ulama yang menyebut zakat ini dengan sebutan
“fithroh”, yang berarti fitrah/naluri. Imam an-Nawawi mengatakan bahwa harta
yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut fithroh (al-Majmu’ 6/103).
Istilah ini juga digunakan oleh para Ahlul-fiqih.
Menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan
karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan
Ramadhan (Mughnil Muhtaj 1/592).
HIKMAH DISYARI’ATKAN ZAKAT FITHRI
Hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah:
1. Untuk berkasih sayang dengan orang miskin, yaitu
mencukupi mereka agar jangan sampai meminta-minta di hari ‘Ied.
2. Memberikan rasa suka cita kepada orang miskin supaya
mereka juga dapat merasakan kegembiraan di hari ‘Ied.
3. Membersihkan kesalahan orang yang menjalankan puasa
akibat perkataan yang sia-sia dan perkataan yang kotor yang dilakukan selama
sebulan berpuasa (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah 2/8278; Minhajul Muslim 230).
Ibnu Abbas rodiyallaahu ‘anhuma berkata:
Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang
yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi
makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum sholat maka zakatnya
diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah sholat maka itu hanya
dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah. [HR Abu Daud no. 1609 dan
Ibnu Majah no. 1827. Syaikh al-Albani mengatakan hadits ini hasan.]
HUKUM ZAKAT FITHRI
Zakat fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh
setiap Muslim pada hari ifthor dari bulan Ramadhan. Ibnu Umar
rodhiyallaahu ‘anhuma berkata:
Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri dengan 1 sho’ kurma atau
1 sho’ gandum bagi setiap Muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun
wanita, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan
sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan sholat ‘Ied. [HR al-Bukhori
no. 1503 dan Muslim no. 984]
Perlu diperhatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam
hadits di atas tidak termasuk di dalamnya janin. Ada sebagian ulama seperti
Ibnu Hazm mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Namun hal ini
kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam Bahasa Arab dan juga
dalam kebiasaan yang ada (Shifat Shaum Nabi 102).
YANG BERKEWAJIBAN BERZAKAT FITHRI
Zakat fithri wajib ditunaikan oleh:
1. Setiap Muslim untuk menutupi kekurangan puasa yang
diisi dengan perkara sia-sia dan perkataan kotor.
2. Yang mampu mengeluarkan zakat fithri.
Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa batasan mampu
adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada
malam dan siang hari ‘Ied. Golongan seperti ini maka dikatakan mampu dan wajib
mengeluarkan zakat fithri. Golongan seperti ini disebut ghoni
(berkecukupan) sebagaimana hadits Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam:
Barangsiapa
meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka
sesungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.
Mereka (para
Shahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi tersebut?”
Rasulullah shollallaahu
‘alaihi wasallam menjawab, “Seukuran makanan yang mengenyangkan untuk sehari
semalam.” [HR Abu Daud no. 1435 dan Ahmad 4/180. Syaikh al-Albani mengatakan
hadits ini shohih. Shohih Fiqh Sunnah 2/80-81.]
Hadits tersebut menunjukkan bahwa kepala keluarga wajib
membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya (Mughnil Muhtaj 1/595).
Menurut Imam Malik, para ulama Syafi’iyah dan jumhur ulama, suami bertanggung
jawab terhadap zakat fithri istrinya karena istri menjadi tanggungan nafkah
suami (al-Minhaj Syarh Shohih Muslim 7/59).
WAKTU TERKENA KEWAJIBAN BERZAKAT FITHRI
Seseorang terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia
bertemu terbenamnya Matahari di malam hari raya Idul Fithri. Hal ini menjadi
pendapat Imam asy-Syafi’i (al-Minhaj Syarh Shohih Muslim 7/58). Alasannya
karena zakat fithri berkaitan dengan hari fithri, hari ketika tidak lagi
berpuasa sehingga hukum zakat ini juga disandarkan pada waktu fithri tersebut (Mughnil
Muhtaj 1/592).
Misalnya, jika seseorang meninggal 1 menit sebelum
terbenamnya Matahari pada malam hari raya, maka dia tidak berkewajiban
dikeluarkan zakat fithrinya. Namun jika dia meninggal 1 menit setelah
terbenamnya Matahari maka zakat fithrinya wajib dikeluarkan. Begitu pula jika
ada bayi yang lahir setelah Matahari tenggelam, maka dia tidak terkena
kewajiban zakat fithri. Namun jika dilahirkan sebelum Matahari terbenam, dia
terkena kewajiban zakat fithri.
BENTUK ZAKAT FITHRI
Zakat fithri yang dikeluarkan adalah berupa makanan pokok
seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju, dan semacamnya. Inilah pendapat
yang benar sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Ibnu
Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama Hanabilah
yang membatasi zakat fithri hanya pada dalil (yaitu kurma dan gandum). Pendapat
yang lebih tepat adalah yang pertama, tidak dibatasi hanya pada dalil (Shohih
Fiqh Sunnah 2/82).
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat
fithri dengan 1 sho’ kurma atau gandum adalah karena dua makanan itu adalah
makanan pokok penduduk Madinah. Jika itu bukan makanan pokok mereka, tentu
beliau tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri dengan yang bukan
makanan yang biasa mereka makan. Hal ini juga sebagaimana halnya dalam membayar
kafaroh yang diperintahkan oleh ALLA Ta’aala:
“Maka
kafaroh (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan 10 orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” [Al-Maidah : 89]
Zakat fithri
pun merupakan bagian dari kafaroh karena salah satu tujuan zakat fithri adalah
untuk menutup kesalahan akibat berkata kotor dan sia-sia (Majmu’ al-Fatawa
25/69).
UKURAN ZAKAT FITHRI
Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri adalah 1
sho’ dari semua bentuk zakat fithri, kecuali untuk qomh (gandum) dan zabib
(kismis) yang sebagian ulama membolehkan dengan ½ sho’ (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah
2/8284). Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ibnu ‘Umar. Dalil lainnya adalah
dari Abu Sa’id al-Khudri yang mengatakan:
Dahulu di
zaman Nabi shollallallaahu ‘alaihi wasallam kami menunaikan zakat fithri berupa
1 sho’ bahan makanan, 1 sho’ kurma, 1 sho’ gandum atau 1 sho’ kismis. [HR
al-Bukhori no. 1508 dan Muslim no. 985]
Dalam
riwayat lain disebutkan, “Atau 1 sho’ keju.” [HR al-Bukhori no. 1506 dan Muslim
no. 985]
Satu sho’ adalah takaran yang ada pada masa Rasulullah
shollallaahu ‘alaihi wasallam. Para ulama berselisih pendapat mengenai ukuran
ini. Mereka juga berselisih pendapat bagaimana ukuran timbangannya (al-Mawsu’ah
al-Fiqhiyah 2/8286). 1 sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran 4 cakupan
penuh telapak tangan yang sedang (al-Qomush al-Muhith 2/298). Ukuran 1 sho’
jika diperkirakan dengan timbangan adalah sekitar 3 kg (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz
14/202). Ulama lain mengatakan bahwa 1 sho’ kira-kira 2,175 kg (Syaikh Abu Malik
dalam Shohih Fiqh Sunnah 2/83). Artinya, jika zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg,
maka sudah dianggap sah. Wallaahu ‘alam.
PENERIMA ZAKAT FITHRI
Para ulama berselisih pendapat mengenai siapa yang berhak
menerima zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat zakat fithri disalurkan pada 8
golongan yang disebutkan pada Suroh At-Taubah ayat 60:
Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan ALLAH, dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
ALLAH, dan ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu
pendapatnya, dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus
untuk fakir miskin saja (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah 2/8287), karena dalam hadits
disebutkan “Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.” Alasan lain
dikemukakan oleh murid Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, yang mengatakan:
Nabi
shollallaahu ‘alaihi wasallam memberi petunjuk bahwa zakat fithri hanya khusus
diserahkan pada orang-orang miskin dan beliau sama sekali tidak membagikannya
pada 8 golongan penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak memerintahkan
untuk menyerahkannya pada 8 golongan tersebut. Juga tidak ada satu orang
Shahabatpun yang melakukan seperti ini, begitu pula orang-orang setelahnya. [Zaadul
Ma’ad 2/17]
WAKTU PENGELUARAN ZAKAT FITHRI
Terdapat dua waktu mengeluarkan zakat fithri:
1.
Waktu afdhol yaitu mulai terbit fajar pada hari Idul
Fihtru hingga mendekati waktu pelaksanaan sholat ‘Ied.
Ibnu Abbas rodiyallaahu ‘anhuma berkata:
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat
fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata
keji, dan juga untuk memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya
sebelum sholat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya
setelah sholat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai
sedekah. [HR Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh al-Albani
mengatakan hadits ini hasan.]
2.
Waktu yang dibolehkan, yaitu 1 atau 2 hari sebelum
‘Ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu ‘Umar (Minhajul Muslim 231).
Shohih al-Bukhori
menyebutkan:
Dan Ibnu ‘Umar
rodhiyallaahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak
menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari
raya Idul Fithri. [HR al-Bukhori no. 1511]
Ada juga sebagian ulama
yang membolehkan berzakat fithri tiga hari sebelum Idul Fithri. Riwayat yang
membolehkan hal ini adalah dari Nafi’ yang berkata:
Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat
fithroh atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari
raya Idul Fithri. [HR Malik dalam Muwatho’-nya no. 629 1/285]
Ada sebagian ulama yang berpendapat zakat fithri boleh
ditunaikan sejak awal Ramadhan, dan ada pula yang berpendapat boleh ditunaikan
satu atau dua tahun sebelumnya (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah 2/8284 dan al-Mughni
5/494). Namun dalam masalah ini, pendapat yang lebih tepat adalah waktu yang
mendekati Idul Fithri, karena zakat fithri berkaitan dengan waktu fithri (Idul
Fithri), maka tidak semestinya ditunaikan jauh hari sebelum Idul Fithri. Alasan
lain adalah karena salah satu tujuan zakat fithri adalah untuk memenuhi
kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bergembira di hari fithri. Jika ingin
ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum
hari ‘Ied.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi mengatakan:
Seandainya
zakat fithri jauh-jauh hari sebelum Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu
saja hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk
memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘Ied. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya zakat
fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat inipun
disebut zakat fithri. …… Karena maksud zakat fithri adalah untuk mencukupi si
miskin di waktu yang khusus (hari fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh
hari sebelum waktunya. [al-Mughni 4/301]
ZAKAT FITHRI SETELAH SHOLAT ‘IED
Pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan
orang yang berzakat fithri setelah sholat ‘Ied tanpa ada udzur, maka ia
berdosa. Namun, seluruh ulama Ahlul-fiqih sepakat bahwa zakat fithri tidaklah
gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini masih harus dikeluarkan. Zakat
fithri masih menjadi utangan dan tidaklah gugur kecuali dengan menunaikannya.
Zakat ini adalah hak sesama hamba yang harus ditunaikan (al-Mawsu’ah
al-Fiqhiyah 2/8284).
TEMPAT PENYALURAN ZAKAT FITHRI
Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang
mendapatkan kewajiban zakat fithri, yaitu di saat ia mendapati waktu fithri
(tidak berpuasa lagi), karena wajibnya zakat ini berkaitan dengan sebab
wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyah 2/8287).
Misalkan seseorang kesehariannya di Jakarta, sedangkan ketika
malam Idul Fithri ia berada di Yogyakarta, maka zakat fithri tersebut harus ia
keluarkan di Yogyakarta karena di kota itulah ia mendapati waktu fithri.
Thanks
for reading ^_^
Sumber:
P.S.
Silakan kalau mau copy-paste,
dan mohon sertakan link-back ke blog
ini. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar