Rabu, 05 Juni 2013

BIOGRAFI IMAM AL-BUKHORI [1]

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Bukhara adalah negeri di muara Sungai Jihun yang terletak di utara Afghanistan dan di sebelah selatan Ukraina. Negeri ini banyak melahirkan imam Ahlul-hadits dan Ahlul-fiqh. Salah satu imam hadits terbesar dan termasyhur adalah Imam Bukhori. Hadits-hadits yang dikumpulkan beliau dianggap merupakan hadits-hadits yang paling shohih. Kitab yang disusun beliau juga dianggap sebagai kitab paling shohih setelah Al-Quran, yang kemudian diikuti oleh kitab hadits karya Imam Muslim.

Imam Bukhori merupakan imam yang tidak tercela hafalan haditsnya dan kecermatannya. Beliau mulai menghafal hadits ketika usianya belum 10 tahun. Beliau mencatat hadits dari lebih 1.000 guru, dan hafal 100.000 hadits shohih dan 200.000 hadits tidak shohih.

“Bukhori” bukanlah nama beliau. Pada 194 H, Imam Bukhori dilahirkan dengan nama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhori, dan bergelar Abu Abdillah. Karya beliau yang paling terkenal adalah kitab “Al-Jami’us Shohih al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi” yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shohih al-Bukhori. Kata “Bukhori” sendiri bermakna “orang dari negeri Bukhara”.


Masa Kecil Al-Bukhori

            Nama lengkap Imam Bukhori adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah. Bardizbah merupakan seorang Persia zoroaster dan beragama Majusi (penyembah api) dan meninggal masih dalam keadaan Majusi. Putra Bardizbah, al-Mughirah, kemudian masuk Islam di bawah bimbingan gubernur Bukhara Yaman al-Ju’fi sehingga al-Mughirah dan segenap keturunannya dinisbatkan kepada kabilah al-Ju’fi.

            Imam al-Bukhori dilahirkan pada Jumat 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya yang merupakan pecinta ilmu sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Ayah beliau, Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah adalah seorang ulama Ahlul-hadits yang meriwayatkan hadits-hadits dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula bertemu dan berjabat tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Hadits-hadits yang disampaikan Ismail bin Ibrahim banyak tesebar di kalangan orang-orang Iraq.

            Ayah al-Bukhori wafat ketika beliau masih kecil. Menjelang wafatnya, sang ayah sempat membesarkan hati anaknya dengan berkata, “Aku tidak mendapati pada hartaku 1 dirhampun dari harta yang haram atau 1 dirhampun dari harta yang syubhat.” Hal ini berarti al-Bukhori yang dibesarkan dari harta yang bersih dari perkara haram dan syubhat akan lebih baik dan lebih mudah dididik. Al-Bukhori hidup sebagai anak yatim dalam kasih sayang ibunya.

            Sejak kecil, Muhammad bin Ismail sudah belajar membaca dan menulis, dan bahkan sudah hafal Al-Quran. Pada usia 10 tahun, beliau mulai mendatangi majelis-majelis ilmu hadits yang banyak tersebar di Bukhara. Pada usia 11 tahun beliau bahkan sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadits yang salah dalam menyampaikan urutan periwayatan (sanad) hadits. Pada usia 16 tahun, beliau telah hafal dan memahami kitab-kitab karya imam Ahlul-hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi ke tiga umat Islam) seperti karya Abdullah bin al-Mubarak dan Waqi’ bin al-Jarrah.

            Bukhori kecil melalui masa-masa kecilnya dengan agenda belajar yang amat padat. Kesibukannya menghafal dan memahami ilmu membuatnya menjadi remaja yang cemerlang dan menakjubkan. Beliau menjadi remaja yang sangat diperhitungkan di tiap majelis yang dihadiri, karena dalam usia masih belasan, beliau sudah hafal 70.000 hadits lengkap dengan sanad-nya, dan tentu saja 30 Juz Al-Quran.


Masa Remaja Al-Bukhori

            Di awal usianya yang ke-16, al-Bukhori diajak ibunya pergi ke Mekkah bersama kakaknya, Ahmad bin Ismail, untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh dari Bukhara ke Mekkah dengan menunggang unta, keledai, dan kuda adalah pengalaman baru baginya. Beliau kemudian terbiasa dengan penderitaan selama perjananan seperti mengarungi padang pasir, gunung-gunung, dan lembah-lembah yang ganas. Namun, beliau menikmati perjalanan berbulan-bulan tersebut.

            Sesampainya di Mekkah, al-Bukhori mengetahui ada banyak Ahlul-hadits yang mengadakan halaqah ilmu. Hal ini semakin menyenangkan beliau. Oleh karena itu, setelah menunaikan ibadah haji, beliau tetap tinggal di Mekkah sementara kakak dan ibunya kembali ke Bukhara.

            Imam Bukhori sering bepergian dari Mekkah ke Madinah. Dari hasil perjalanan inilah beliau kemudian menulis biografi para tokoh, dan lahirlah sebuah karyanya yang pertama dalam bidang ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab tersebut sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia Islam, Imam Bukhori menjadi ramai dibicarakan dan banyak yang mengagumi beliau. Bahkan seorang imam Ahlul-hadits pada masa itu, Ishaq bin Rahuyah, membawa Kitabut Tarikh kepada gubernur Khurasan, Abdullah bin Thahir al-Khuza’i. Ishaq bin Rahuyah berkata pada sang gubernur, “Wahai tuan gubernur, maukah aku tunjukkan kepadamu atraksi sihir?” Ishaq kemudian menunjukkan kitab tersebut. Sang gubernur yang membaca kitab tersebut terkagum-kagum dan berkata, “Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa menyusun kitab ini.”

            Imam al-Bukhori kemudian menjadi terkenal di berbagai negeri Islam. Ketika beliau berkunjung ke negeri-negeri tersebut, beliau sangat dihormati oleh para Ahlul-hadits. Beliau berkeliling ke negeri-negeri pusat ilmu hadits seperti Mesir, Syam, Baghdad, Bashrah, Kufah, dan lain-lain.

            Suatu hari Imam Bukhori menghadiri majelis Ishaq bin Ruhuyah. Dalam majelis tersebut, ada hadirin yang menyarankan agar hadits-hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dibukukan. Dari hal inilah, Imam Bukhori kemudian mulai menulis kitab shohih-nya dan selesai dalam 16 tahun. Kitab yang beliau susun berisi hadits-hadits yang diyakini shohih setelah beliau menyaring dan meneliti 6.000 hadits. Beliau memilih 7.275 hadits shohih dan semuanya dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul Al-Jami’us Shohih al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi, yang kemudian terkenal dengan kitab Shohih al-Bukhori. Kitab ini mendapat pujian dan sanjungan dari berbagai pihak di berbagai negeri Islam. Ketokohan beliau dalam ilmu hadits semakin dikenal dan diakui. Para imam Ahlul-hadits seperti Ahmad bin Hanbal, Ali bin al-Madini, dan Yahya bin Ma’in sangat memuliakan beliau.

            Suatu hari, para ulama Baghdad dengan sengaja memutarbalikkan 100 hadits. Imam al-Bukhori kemudian mengembalikan setiap matan kepada sanad yang sebenarnya dan setiap sanad kepada matan-nya. Hal ini membuat para ulama kagum pada hafalan dan kecermatannya.


Popularitas Imam Al-Bukhori

            Karya-karya Imam al-Bukhori dalam ilmu hadits terus mengalir dan beredar di berbagai negara Islam. Kepiawaian beliau dalam penyampaian keterangan tentang berbagai kepelikan sekitar ilmu hadits sangat dikagumi. Keilmuannya dipuji dan diakui oleh para gurunya dan para ulama lain, terlebih oleh para muridnya. Beliau menimba ilmu dari lebih 1.000 ulama dan semuanya selalu mempunyai kesan yang baik, bahkan kagum kepada beliau.

            Majelis-majelis ilmu Imam Bukhori selalu dipenuhi ribuan para penuntut ilmu. Bila beliau memasuki suatu negeri, puluhan atau ratusan ribu kaum Muslim sudah menyambutnya di perbatasan kota karena beberapa hari sebelumnya telah tersebar kabar akan datangnya seorang imam Ahlul-hadits al-Bukhori.


Fitnah Terhadap Imam Al-Bukhori

Muhammad bin Ismail banyak disanjung dan dielu-elukan di mana-mana. Beliau dijadikan rujukan para ulama di usianya yang masih belia. Pada kondisi inilah, muncul orang-orang yang dengki terhadap berbagai kemuliaan yang ALLAH berikan padanya.

Suatu hari beliau berkunjung ke negeri Naisabur (ibukota Khurasan) untuk menimba ilmu dari imam-imam Ahlul-hadits di sana. Kedatangan ini bukanlah yang pertama kali karena beliau memang sering datang ke negeri yang menjadi salah satu pusat ilmu sunnah tersebut. Di Naisabur juga terdapat salah satu guru beliau, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli. Berita kedatangan beliau segera tersiar. Imam Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli bahkan mengumumkan secara khusus di majelisnya: “Barangsiapa ingin menyambut Muhammad bin Ismail besok, silakan menyambutnya karena aku akan menyambutnya.”

            Di hari kedatangan Imam al-Bukhori, ribuan penduduk Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk menyambutnya, termasuk sang guru sendiri dan para ulama lain. Muhammad bin Ya’qub al-Akhram meriwayatkan bahwa ketika al-Bukhori sampai di kota Naisabur, beliau disambut 4.000 orang berkuda, ada juga yang menunggang keledai dan himar, serta ribuan yang berjalan kaki. Imam Muslim bin al-Hajjaj mengatakan: “Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, semua pejabat pemerintah dan semua ulama menyambutnya di batas negeri.”

            Setelah tiba di Naisabur, para penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang luar biasa. Ribuan orang berkerumun di kediaman beliau setiap harinya untuk menanyakan berbagai perkara agama, khususnya tentang kepelikan hadits. Hal ini menyebabkan majelis ulama lain menjadi sepi. Dari hal inilah, kemungkinan timbul rasa iri di hati sebagian ulama.

            Di hari ke tiga Imam al-Bukhori di Naisabur, fitnah menimpanya. Ahmad bin Adi menceritakan:
“Telah menceritakan kepadaku kelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai di Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahlul-hadits bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca Al-Quran adalah makhluk.
Pada suatu majelis ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau, ‘Wahai Abu Abdillah (yakni al-Bukhori), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa lafadh-ku ketika membaca Al-Quran adalah makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh orang yang membaca Al-Quran itu bukan makhluk?’
Mendapat pertanyaan itu, beliau berpaling karena tidak mau menjawabnya. Namun si penanya mengulang-ngulang pertanyaannya hingga tiga kali seraya memohon dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhori pun akhirnya menjawab dengan berkata, ‘Al-Quran kalamullah (perkataan ALLAH) dan bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba ALLAH adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid’ah.’
Dengan jawaban beliau ini, si penanya membuat ricuh majelis dan mengatakan tentang al-Bukhori, ‘Dia telah menyatakan bahwa lafadh-ku ketika membaca Al-Quran adalah makhluk.’ Akibatnya, orang-orang di majelis itu menjadi ricuh dan merekapun segera membubarkan diri dan meninggalkan beliau sendirian. Sejak itu, al-Bukhori duduk di tempat tinggalnya dan orang-orangpun tidak mau lagi datang kepada beliau.”

            Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dengan sanad-nya dari Muhammad bin Khasynam:
“Setelah orang-orang meninggalkan al-Bukhori, mereka (orang-orang yang meninggalkan tersebut) sempat mendatangi beliau dan berkata, ‘Engkau mencabut pernyataanmu agar kami kembali belajar di majelismu.’
Beliau menjawab, ‘Aku tidak akan mencabut pernyataanku kecuali bila mereka yang meninggalkanku menunjukkan hujjah (argumentas) yang lebih kuat dari hujjah-ku.’”

            Muhammad bin Khasynam berkata, “Sungguh aku amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya al-Bukhori dalam berpegang pada pendirian.”

            Kaum Muslim di Naisabur menjadi gempar karena kejadian ini dan arus fitnah makin menyebar yang akhirnya melibatkan Imam Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli. Di majelis ilmunya yang sudah ramai kembali, beliau berkata:
“Ketahuilah, sesungguhnya siapa saja yang masih mendatangi majelis al-Bukhori, dilarang datang ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdad telah memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang ini (al-Bukhori) mengatakan bahwa lafadh-ku ketika membaca Al-Quran adalah makhluk. Kata mereka yang ada di Baghdad bahwa al-Bukhori telah dinasihati untuk jangan berkata demikian, tapi dia terus mengatakan demikian. Oleh karena itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah mendekati kami.”

            Dengan terlibatnya Imam adz-Dzuhli yang sangat berpengaruh di seluruh Khurasan, fitnah tentu saja makin meluas. Imam adz-Dzuhli lebih lanjut menyatakan:
“Al-Quran adalah kalamullah dan bukan makhluk dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk berbicara tentang lafadh-nya ketika membaca Al-Quran atau omongan yang serupa ini tentang Al-Quran. Barangsiapa yang menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari iman, dan harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut untuk bertaubat dari ucapan yang demikian. Bila dia mau bertaubat maka diterima taubatnya. Namun bila tidak mau bertaubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya menjadi rampasan kaum Muslim serta tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslim. Dan barangsiapa yang bersikap abstain dengan tidak menyatakan Al-Quran sebagai makhluk dan tidak pula menyatakan Al-Quran bukan makhluk, maka sungguh dia telah menyerupai orang-orang kafir.
Barangsiapa yang menyatakan, ‘Lafadh-ku ketika membaca Al-Quran adalah makhluk’, maka sungguh dia adalah Ahlul-bid’ah (orang sesat). Tidak boleh duduk bercengkerama dengannya dan tidak boleh diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih saja mendatangi tempat al-Bukhori, maka curigailah ia karena tidaklah ada orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab dengannya dalam kesesatannya.”

            Dengan pernyataan adz-Dzuhli tersebut, dari majelis itu berdirilah Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Imam Muslim bahkan mengirimkan kembali kepada adz-Dzuhli semua catatan riwayat yang didapatkannya dari adz-Dzuhli, sehingga dalam Shohih Muslim tidak ada riwayat adz-Dzuhli dari berbagai sanad yang ada padanya. Sikap mereka berdua membuat adz-Dzuhli marah dan berkata, “Orang ini (al-Bukhori) tidak boleh bertempat tinggal di negeri ini bersamaku.”

            Sikap adz-Dzuhli sangat menggusarkan Ahmad bin Salamah, salah seorang pembela al-Bukhori. Beliau mendatangi al-Bukhori dan berkata, “Wahai Abu Abdillah, orang ini (adz-Dzuhli) sangat berpengaruh di Khurasan, khususnya di kota ini (Naisabur). Dia telah terlalu jauh dalam berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorangpun dari kami bisa menasihatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?”

            Imam al-Bukhori sangat paham kegusaran muridnya tersebut. Beliau kemudian memegang janggut Ahmad bin Salamah dan membaca Surat Ghafir ayat 44 yang artinya, “Dan aku serahkan urusanku kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH Maha Melihat hamba-hamba-NYA.” Beliau kemudian menunduk sambil berkata:
“Ya ALLAH, sungguh ENGKAU tahu bahwa aku tinggal di Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan tidak pula bertujuan dengan kejelekan. ENGKAU juga mengetahui, ya ALLAH, bahwa aku terpaksa pulang ke negeriku karena para penentangku telah menguasai keadaan. Dan sungguh orang ini (adz-Dzuhli) membidikku semata-mata karena hasad terhadap apa yang telah ALLAH berikan kepadaku daripada ilmu.”
Dengan wajah sendu menyimpan kekecewaan yang mendalam, beliau menatap Ahmad bin Salamah dengan mantap dan berkata, “Wahai Ahmad, aku akan meninggalkan Naisabur besok agar kalian terlepas dari masalah akibat omongannya (omongan adz-Dzuhli) karena keberadaanku.”
Segera setelah itu, Imam al-Bukhori berkemas untuk keberangkatannya besok ke negeri Bukhara.

            Rencana kepulangan Imam al-Bukhori sempat diberitakan oleh Ahmad bin Salamah pada penduduk Naisabur, namun tidak ada yang bersedia melepasnya di batas kota. Imam al-Bukhori dilepas kepulangannya hanya oleh Ahmad bin Salamah saja dan beliau berjalan sendirian menempuh jalan darat yang jauh ke Bukhara.

[bersambung]


Thanks for reading  ^_^

Sumber:

Daftar pustaka (seperti yang tercantum dalam sumber):
1)      Al-Quranul Karim
2)      At-Tarikhul Kabir, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Darul Fikr, tanpa tahun.
3)      Kitabuts Tsiqat, Al-Imam Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Abi Hatim At-Tamimi Al-Busti, darul Fikr, th. 1393 H / 1993 M.
4)      Kitabul Jarh wat Ta’dil, Al-Imam Abi Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim At-Tamimi Al-Handlali Ar-Razi, darul Fikr, tanpa tahun.
5)      Khalqu Af’alil Ibad, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Muassasatur Risalah, th. 1411 H / 1990 M.
6)      Tarikh Baghdad, Al-Imam Abi Bakr Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi, Darul Fikr, tanpa tahun.
7)      Al-Ikmal, Al-Amir Al-Hafidh Ali bin Hibatullah Abi Naser bin Makula, Darul Kutub Al-Ilmiah, th. 1411 H / 1990 M.
8)      Thabaqatul Hanabilah, Al-Qadli Abul Husain Muhammad bin Abi Ya’la, Darul Ma’rifah, Beirut, Libanon, tanpa tahun.
9)      Rijal Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Abu Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bukhari Al-Kalabadzi, Darul Baaz, th. 1407 H / 1987 M.
10)  Al-Kamil fit Tarikh, Al-Allamah Ibnu Atsir, Darul Fikr, tanpa tahun.
11)  Tahdzibul Kamal, Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Muassasatur Risalah, th. 1413 H / 1992 M.
12)  Kitab Tadzkratul Huffadl, Al-Imam Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahabi, Darul Kutub Al-Ilmiah, tanpa tahun.
13)  Siyar A`lamin Nubala’, Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Muassasatur Risalah, th. 1417 H / 1996 M.
14)  Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Hafidh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, th. 1408 H / 1988 M.
15)  Hadyus Sari Muqaddimah Fathul Bari, Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
16)  Qaidah fi Jarh wat Ta’dil, Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Al-Maktabah Al-Ilmiah, Lahore, Pakistan, th. 1403 H / 1983 M.
17)  Biografi Al-Bukhari dalam Tarikh al-Baghdad, al-Khatib 2/4-36.
18)  Tadzkirat al-Huffadh 2/122.
19)  Tahzib at-Tahdzib Ibnu Hajar Asqalani 9/47.


P.S.
Silakan kalau mau copy-paste, namun kalau tidak keberatan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.



Related Posts:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar