بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
Bukhara adalah negeri di muara Sungai Jihun yang terletak di
utara Afghanistan dan di sebelah selatan Ukraina. Negeri ini banyak melahirkan
imam Ahlul-hadits dan Ahlul-fiqh. Salah satu imam hadits
terbesar dan termasyhur adalah Imam Bukhori. Hadits-hadits yang dikumpulkan
beliau dianggap merupakan hadits-hadits yang paling shohih. Kitab yang disusun beliau juga dianggap sebagai kitab
paling shohih setelah Al-Quran, yang
kemudian diikuti oleh kitab hadits karya Imam Muslim.
Imam Bukhori merupakan imam yang tidak tercela hafalan
haditsnya dan kecermatannya. Beliau mulai menghafal hadits ketika usianya
belum 10 tahun. Beliau mencatat hadits dari lebih 1.000 guru, dan hafal 100.000
hadits shohih dan 200.000 hadits
tidak shohih.
“Bukhori” bukanlah nama beliau. Pada 194 H, Imam Bukhori dilahirkan
dengan nama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhori, dan
bergelar Abu Abdillah. Karya beliau yang paling terkenal adalah kitab
“Al-Jami’us Shohih al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi”
yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shohih
al-Bukhori. Kata “Bukhori” sendiri bermakna “orang dari negeri Bukhara”.
Masa Kecil Al-Bukhori
Nama lengkap Imam Bukhori adalah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah. Bardizbah
merupakan seorang Persia zoroaster dan beragama Majusi (penyembah api) dan
meninggal masih dalam keadaan Majusi. Putra Bardizbah, al-Mughirah, kemudian
masuk Islam di bawah bimbingan gubernur Bukhara Yaman al-Ju’fi sehingga al-Mughirah
dan segenap keturunannya dinisbatkan kepada kabilah al-Ju’fi.
Imam al-Bukhori dilahirkan pada
Jumat 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya yang merupakan
pecinta ilmu sunnah Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wasallam. Ayah beliau, Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah
adalah seorang ulama Ahlul-hadits
yang meriwayatkan hadits-hadits dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan
sempat pula bertemu dan berjabat tangan dengan Abdullah bin Mubarak.
Hadits-hadits yang disampaikan Ismail bin Ibrahim banyak tesebar di kalangan
orang-orang Iraq.
Ayah al-Bukhori wafat ketika beliau
masih kecil. Menjelang wafatnya, sang ayah sempat membesarkan hati anaknya
dengan berkata, “Aku tidak mendapati pada hartaku 1 dirhampun dari harta yang
haram atau 1 dirhampun dari harta yang syubhat.”
Hal ini berarti al-Bukhori yang dibesarkan dari harta yang bersih dari perkara
haram dan syubhat akan lebih baik dan
lebih mudah dididik. Al-Bukhori hidup sebagai anak yatim dalam kasih sayang
ibunya.
Sejak kecil, Muhammad bin Ismail
sudah belajar membaca dan menulis, dan bahkan sudah hafal Al-Quran. Pada usia
10 tahun, beliau mulai mendatangi majelis-majelis ilmu hadits yang banyak
tersebar di Bukhara. Pada usia 11 tahun beliau bahkan sudah mampu menegur
seorang guru ilmu hadits yang salah dalam menyampaikan urutan periwayatan (sanad) hadits. Pada usia 16 tahun,
beliau telah hafal dan memahami kitab-kitab karya imam Ahlul-hadits dari kalangan tabi’it
tabi’in (generasi ke tiga umat Islam) seperti karya Abdullah bin al-Mubarak
dan Waqi’ bin al-Jarrah.
Bukhori kecil melalui masa-masa
kecilnya dengan agenda belajar yang amat padat. Kesibukannya menghafal dan
memahami ilmu membuatnya menjadi remaja yang cemerlang dan menakjubkan. Beliau
menjadi remaja yang sangat diperhitungkan di tiap majelis yang dihadiri, karena
dalam usia masih belasan, beliau sudah hafal 70.000 hadits lengkap dengan sanad-nya, dan tentu saja 30 Juz
Al-Quran.
Masa Remaja Al-Bukhori
Di awal usianya yang ke-16,
al-Bukhori diajak ibunya pergi ke Mekkah bersama kakaknya, Ahmad bin Ismail,
untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh dari Bukhara ke Mekkah dengan
menunggang unta, keledai, dan kuda adalah pengalaman baru baginya. Beliau
kemudian terbiasa dengan penderitaan selama perjananan seperti mengarungi
padang pasir, gunung-gunung, dan lembah-lembah yang ganas. Namun, beliau
menikmati perjalanan berbulan-bulan tersebut.
Sesampainya di Mekkah, al-Bukhori
mengetahui ada banyak Ahlul-hadits
yang mengadakan halaqah ilmu. Hal ini
semakin menyenangkan beliau. Oleh karena itu, setelah menunaikan ibadah haji,
beliau tetap tinggal di Mekkah sementara kakak dan ibunya kembali ke Bukhara.
Imam Bukhori sering bepergian dari
Mekkah ke Madinah. Dari hasil perjalanan inilah beliau kemudian menulis
biografi para tokoh, dan lahirlah sebuah karyanya yang pertama dalam bidang
ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh.
Ketika kitab tersebut sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia Islam, Imam
Bukhori menjadi ramai dibicarakan dan banyak yang mengagumi beliau. Bahkan
seorang imam Ahlul-hadits pada masa
itu, Ishaq bin Rahuyah, membawa Kitabut
Tarikh kepada gubernur Khurasan, Abdullah bin Thahir al-Khuza’i. Ishaq bin
Rahuyah berkata pada sang gubernur, “Wahai tuan gubernur, maukah aku tunjukkan
kepadamu atraksi sihir?” Ishaq kemudian menunjukkan kitab tersebut. Sang
gubernur yang membaca kitab tersebut terkagum-kagum dan berkata, “Aku tidak mengerti
bagaimana dia bisa menyusun kitab ini.”
Imam al-Bukhori kemudian menjadi
terkenal di berbagai negeri Islam. Ketika beliau berkunjung ke negeri-negeri
tersebut, beliau sangat dihormati oleh para Ahlul-hadits.
Beliau berkeliling ke negeri-negeri pusat ilmu hadits seperti Mesir, Syam,
Baghdad, Bashrah, Kufah, dan lain-lain.
Suatu hari Imam Bukhori menghadiri
majelis Ishaq bin Ruhuyah. Dalam majelis tersebut, ada hadirin yang menyarankan
agar hadits-hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dibukukan. Dari hal
inilah, Imam Bukhori kemudian mulai menulis kitab shohih-nya dan selesai dalam 16 tahun. Kitab yang beliau susun
berisi hadits-hadits yang diyakini shohih
setelah beliau menyaring dan meneliti 6.000 hadits. Beliau memilih 7.275 hadits
shohih dan semuanya dikumpulkan dalam
satu kitab yang berjudul Al-Jami’us
Shohih al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi, yang
kemudian terkenal dengan kitab Shohih
al-Bukhori. Kitab ini mendapat pujian dan sanjungan dari berbagai pihak di berbagai
negeri Islam. Ketokohan beliau dalam ilmu hadits semakin dikenal dan diakui.
Para imam Ahlul-hadits seperti Ahmad
bin Hanbal, Ali bin al-Madini, dan Yahya bin Ma’in sangat memuliakan beliau.
Suatu hari, para ulama Baghdad
dengan sengaja memutarbalikkan 100 hadits. Imam al-Bukhori kemudian
mengembalikan setiap matan kepada sanad yang sebenarnya dan setiap sanad kepada matan-nya. Hal ini membuat para ulama kagum pada hafalan dan
kecermatannya.
Popularitas Imam Al-Bukhori
Karya-karya Imam al-Bukhori dalam
ilmu hadits terus mengalir dan beredar di berbagai negara Islam. Kepiawaian
beliau dalam penyampaian keterangan tentang berbagai kepelikan sekitar ilmu
hadits sangat dikagumi. Keilmuannya dipuji dan diakui oleh para gurunya dan
para ulama lain, terlebih oleh para muridnya. Beliau menimba ilmu dari lebih
1.000 ulama dan semuanya selalu mempunyai kesan yang baik, bahkan kagum kepada
beliau.
Majelis-majelis ilmu Imam Bukhori
selalu dipenuhi ribuan para penuntut ilmu. Bila beliau memasuki suatu negeri,
puluhan atau ratusan ribu kaum Muslim sudah menyambutnya di perbatasan kota
karena beberapa hari sebelumnya telah tersebar kabar akan datangnya seorang imam
Ahlul-hadits al-Bukhori.
Fitnah Terhadap Imam Al-Bukhori
Muhammad bin Ismail banyak disanjung dan dielu-elukan di
mana-mana. Beliau dijadikan rujukan para ulama di usianya yang masih belia.
Pada kondisi inilah, muncul orang-orang yang dengki terhadap berbagai kemuliaan
yang ALLAH berikan padanya.
Suatu hari beliau berkunjung ke negeri Naisabur (ibukota
Khurasan) untuk menimba ilmu dari imam-imam Ahlul-hadits
di sana. Kedatangan ini bukanlah yang pertama kali karena beliau memang sering
datang ke negeri yang menjadi salah satu pusat ilmu sunnah tersebut. Di Naisabur juga terdapat salah satu guru beliau,
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli. Berita kedatangan beliau segera tersiar. Imam
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli bahkan mengumumkan secara khusus di majelisnya: “Barangsiapa
ingin menyambut Muhammad bin Ismail besok, silakan menyambutnya karena aku akan
menyambutnya.”
Di hari kedatangan Imam al-Bukhori,
ribuan penduduk Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk menyambutnya,
termasuk sang guru sendiri dan para ulama lain. Muhammad bin Ya’qub al-Akhram
meriwayatkan bahwa ketika al-Bukhori sampai di kota Naisabur, beliau disambut
4.000 orang berkuda, ada juga yang menunggang keledai dan himar, serta ribuan
yang berjalan kaki. Imam Muslim bin al-Hajjaj mengatakan: “Ketika Muhammad bin
Ismail datang ke Naisabur, semua pejabat pemerintah dan semua ulama
menyambutnya di batas negeri.”
Setelah tiba di Naisabur, para
penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang luar biasa. Ribuan orang
berkerumun di kediaman beliau setiap harinya untuk menanyakan berbagai perkara
agama, khususnya tentang kepelikan hadits. Hal ini menyebabkan majelis ulama
lain menjadi sepi. Dari hal inilah, kemungkinan timbul rasa iri di hati
sebagian ulama.
Di hari ke tiga Imam al-Bukhori di
Naisabur, fitnah menimpanya. Ahmad bin Adi menceritakan:
“Telah
menceritakan kepadaku kelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai di
Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah
kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga
mulailah diberitakan kepada para ulama Ahlul-hadits
bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh
beliau ketika membaca Al-Quran adalah makhluk.
Pada suatu
majelis ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau, ‘Wahai Abu
Abdillah (yakni al-Bukhori), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa
lafadh-ku ketika membaca Al-Quran
adalah makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh
orang yang membaca Al-Quran itu bukan makhluk?’
Mendapat
pertanyaan itu, beliau berpaling karena tidak mau menjawabnya. Namun si penanya
mengulang-ngulang pertanyaannya hingga tiga kali seraya memohon dengan sangat
agar beliau menjawabnya. Al-Bukhori pun akhirnya menjawab dengan berkata, ‘Al-Quran
kalamullah (perkataan ALLAH) dan
bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba ALLAH adalah makhluk, dan menguji
orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid’ah.’
Dengan
jawaban beliau ini, si penanya membuat ricuh majelis dan mengatakan tentang
al-Bukhori, ‘Dia telah menyatakan bahwa lafadh-ku
ketika membaca Al-Quran adalah makhluk.’ Akibatnya, orang-orang di majelis itu
menjadi ricuh dan merekapun segera membubarkan diri dan meninggalkan beliau
sendirian. Sejak itu, al-Bukhori duduk di tempat tinggalnya dan orang-orangpun
tidak mau lagi datang kepada beliau.”
Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan
dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dengan sanad-nya
dari Muhammad bin Khasynam:
“Setelah
orang-orang meninggalkan al-Bukhori, mereka (orang-orang yang meninggalkan
tersebut) sempat mendatangi beliau dan berkata, ‘Engkau mencabut pernyataanmu
agar kami kembali belajar di majelismu.’
Beliau
menjawab, ‘Aku tidak akan mencabut pernyataanku kecuali bila mereka yang
meninggalkanku menunjukkan hujjah
(argumentas) yang lebih kuat dari hujjah-ku.’”
Muhammad bin Khasynam berkata,
“Sungguh aku amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya al-Bukhori dalam berpegang
pada pendirian.”
Kaum Muslim di Naisabur menjadi
gempar karena kejadian ini dan arus fitnah makin menyebar yang akhirnya melibatkan
Imam Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli. Di majelis ilmunya yang sudah ramai kembali,
beliau berkata:
“Ketahuilah,
sesungguhnya siapa saja yang masih mendatangi majelis al-Bukhori, dilarang
datang ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdad telah memberitakan
melalui surat kepada kami bahwa orang ini (al-Bukhori) mengatakan bahwa lafadh-ku ketika membaca Al-Quran adalah
makhluk. Kata mereka yang ada di Baghdad bahwa al-Bukhori telah dinasihati
untuk jangan berkata demikian, tapi dia terus mengatakan demikian. Oleh karena
itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah
mendekati kami.”
Dengan terlibatnya Imam adz-Dzuhli
yang sangat berpengaruh di seluruh Khurasan, fitnah tentu saja makin meluas.
Imam adz-Dzuhli lebih lanjut menyatakan:
“Al-Quran
adalah kalamullah dan bukan makhluk
dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa yang berpegang
dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk berbicara
tentang lafadh-nya ketika membaca
Al-Quran atau omongan yang serupa ini tentang Al-Quran. Barangsiapa yang
menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir dan keluar
dari iman, dan harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut untuk bertaubat
dari ucapan yang demikian. Bila dia mau bertaubat maka diterima taubatnya.
Namun bila tidak mau bertaubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya menjadi
rampasan kaum Muslim serta tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslim. Dan
barangsiapa yang bersikap abstain dengan tidak menyatakan Al-Quran sebagai
makhluk dan tidak pula menyatakan Al-Quran bukan makhluk, maka sungguh dia
telah menyerupai orang-orang kafir.
Barangsiapa
yang menyatakan, ‘Lafadh-ku ketika
membaca Al-Quran adalah makhluk’, maka sungguh dia adalah Ahlul-bid’ah (orang sesat). Tidak boleh duduk bercengkerama
dengannya dan tidak boleh diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah
penjelasan ini masih saja mendatangi tempat al-Bukhori, maka curigailah ia
karena tidaklah ada orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab
dengannya dalam kesesatannya.”
Dengan pernyataan adz-Dzuhli
tersebut, dari majelis itu berdirilah Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin
Salamah. Imam Muslim bahkan mengirimkan kembali kepada adz-Dzuhli semua catatan
riwayat yang didapatkannya dari adz-Dzuhli, sehingga dalam Shohih Muslim tidak ada riwayat adz-Dzuhli dari berbagai sanad yang ada padanya. Sikap mereka
berdua membuat adz-Dzuhli marah dan berkata, “Orang ini (al-Bukhori) tidak
boleh bertempat tinggal di negeri ini bersamaku.”
Sikap adz-Dzuhli sangat menggusarkan
Ahmad bin Salamah, salah seorang pembela al-Bukhori. Beliau mendatangi
al-Bukhori dan berkata, “Wahai Abu Abdillah, orang ini (adz-Dzuhli) sangat
berpengaruh di Khurasan, khususnya di kota ini (Naisabur). Dia telah terlalu
jauh dalam berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorangpun dari kami bisa
menasihatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?”
Imam al-Bukhori sangat paham
kegusaran muridnya tersebut. Beliau kemudian memegang janggut Ahmad bin Salamah
dan membaca Surat Ghafir ayat 44 yang artinya, “Dan aku serahkan urusanku
kepada ALLAH. Sesungguhnya ALLAH Maha Melihat hamba-hamba-NYA.” Beliau kemudian
menunduk sambil berkata:
“Ya ALLAH,
sungguh ENGKAU tahu bahwa aku tinggal di Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan
tidak pula bertujuan dengan kejelekan. ENGKAU juga mengetahui, ya ALLAH, bahwa
aku terpaksa pulang ke negeriku karena para penentangku telah menguasai keadaan.
Dan sungguh orang ini (adz-Dzuhli) membidikku semata-mata karena hasad terhadap apa yang telah ALLAH
berikan kepadaku daripada ilmu.”
Dengan wajah
sendu menyimpan kekecewaan yang mendalam, beliau menatap Ahmad bin Salamah
dengan mantap dan berkata, “Wahai Ahmad, aku akan meninggalkan Naisabur besok
agar kalian terlepas dari masalah akibat omongannya (omongan adz-Dzuhli) karena
keberadaanku.”
Segera
setelah itu, Imam al-Bukhori berkemas untuk keberangkatannya besok ke negeri
Bukhara.
Rencana kepulangan Imam al-Bukhori
sempat diberitakan oleh Ahmad bin Salamah pada penduduk Naisabur, namun tidak
ada yang bersedia melepasnya di batas kota. Imam al-Bukhori dilepas
kepulangannya hanya oleh Ahmad bin Salamah saja dan beliau berjalan sendirian
menempuh jalan darat yang jauh ke Bukhara.
[bersambung]
Thanks for reading
^_^
Sumber:
Daftar
pustaka (seperti yang tercantum dalam sumber):
1)
Al-Quranul
Karim
2)
At-Tarikhul
Kabir, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Darul Fikr, tanpa
tahun.
3)
Kitabuts
Tsiqat, Al-Imam Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Abi Hatim At-Tamimi Al-Busti,
darul Fikr, th. 1393 H / 1993 M.
4)
Kitabul
Jarh wat Ta’dil, Al-Imam Abi Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim At-Tamimi
Al-Handlali Ar-Razi, darul Fikr, tanpa tahun.
5)
Khalqu
Af’alil Ibad, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Muassasatur
Risalah, th. 1411 H / 1990 M.
6)
Tarikh
Baghdad, Al-Imam Abi Bakr Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi, Darul Fikr,
tanpa tahun.
7)
Al-Ikmal,
Al-Amir Al-Hafidh Ali bin Hibatullah Abi Naser bin Makula, Darul Kutub Al-Ilmiah,
th. 1411 H / 1990 M.
8)
Thabaqatul
Hanabilah, Al-Qadli Abul Husain Muhammad bin Abi Ya’la, Darul Ma’rifah, Beirut,
Libanon, tanpa tahun.
9)
Rijal
Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Abu Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain
Al-Bukhari Al-Kalabadzi, Darul Baaz, th. 1407 H / 1987 M.
10)
Al-Kamil
fit Tarikh, Al-Allamah Ibnu Atsir, Darul Fikr, tanpa tahun.
11)
Tahdzibul
Kamal, Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Muassasatur Risalah, th. 1413 H /
1992 M.
12)
Kitab
Tadzkratul Huffadl, Al-Imam Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahabi, Darul
Kutub Al-Ilmiah, tanpa tahun.
13)
Siyar
A`lamin Nubala’, Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi,
Muassasatur Risalah, th. 1417 H / 1996 M.
14)
Al-Bidayah
wan Nihayah, Al-Hafidh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Darul Kutub
Al-Ilmiyah, th. 1408 H / 1988 M.
15)
Hadyus
Sari Muqaddimah Fathul Bari, Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar
Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
16)
Qaidah
fi Jarh wat Ta’dil, Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Al-Maktabah
Al-Ilmiah, Lahore, Pakistan, th. 1403 H / 1983 M.
17)
Biografi
Al-Bukhari dalam Tarikh al-Baghdad, al-Khatib 2/4-36.
18)
Tadzkirat
al-Huffadh 2/122.
19)
Tahzib
at-Tahdzib Ibnu Hajar Asqalani 9/47.
P.S.
Silakan kalau mau copy-paste, namun kalau tidak keberatan
mohon sertakan link-back ke blog ini.
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar