Sabtu, 22 Juni 2013

BIOGRAFI IMAM SYAFI'I

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Di suatu kampung miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza) di Palestina, lahirlah bayi lelaki pada 150 H (694 M). Bayi tersebut dilahirkan dari pasangan suami istri Idris bin Abbas asy-Syafi’i dan seorang wanita dari Bani Azad. Bayi keturunan Quraisy itu kemudian diberi nama Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Namun, tidak berapa lama sang ayah meninggal dunia, menyebabkan sang bayi rupawan itu menjadi seorang yatim.

Bayi tersebut tumbuh dengan sehat dengan kasih sayang sang ibu. Ketika Muhammad berusia 2 tahun, beliau dibawa oleh ibunya ke Mekkah untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya di kampung Bani Mutthalib.


Nasab Imam Asy-Syafi’i

Nasab ayah Muhammad berasal dari keturunan seorang shohabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam yang bernama Syafi’ bin as-Sa’ib. As-Sa’ib, ayah Syafi’, pernah ditawan dalam Perang Badar sebagai seorang musyrik. As-Sa’ib kemudian menebus dirinya dengan uang jaminan untuk mendapatkan status pembebasan dari tawanan Muslimin. Setelah bebas, ia bersyahadat di tangan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam.

Nasab lengkap Imam asy-Syafi’i adalah:
Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan.

Dari nasab tersebut, al-Mutthalib bin Abdi Manaf merupakan saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf, kakek Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, mempunyai saudara kandung yang bernama Syifa’, yang menikah dengan Ubiad bin Abdi Yazid, dan melahirkan anak bernama as-Sa’ib, yang merupakan ayah Syafi’. Kepada Syafi’ bin as-Sa’ib inilah nasab bayi tersebut dinisbahkan sehingga bayi itu terkenal dengan nama Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Mutthalibi. Dengan demikian, nasab Imam Syafi’i sangat dekat dengan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Bahkan, mengenai Hasyim bin Abdi Manaf (yang kemudian melahirkan Bani Hasyim) yang merupakan saudara kandung Mutthalib bin Abdi Manaf (yang kemudian melahirkan Bani Mutthalib), Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Hanyalah kami (Bani Hasyim) dengan mereka (Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab.”
Beliau berbicara sambil menyilang-nyilangkan jari jemari ke dua tangan beliau. [HR Abu Nu’aim al-Asfahani dalam Hilyah-nya Juz 9 hal. 65-66]


Masa Remaja Imam Syafi’i

Di lingkungan Bani Mutthalib, Imam Syafi’i tumbuh menjadi anak yang penuh vitalitas. Saat kecil, beliau sibuk berlatih memanah sehingga menjadi pemanah handal di kalangan anak-anak seusianya. Beliaupun dikenal sebagai jago memanah. Kesibukannya yang berlebihan dalam memanah membuat seorang ahli medis menasihatinya. Dokter tersebut berkata:
“Bila engkau terus menerus demikian, maka sangat dikhawatirkan akan terkena penyakit luka pada paru-parumu karena engkau terlalu banyak berdiri di bawah terik Matahari.”

Dinasihati demikian, Imam Syafi’i mulai mengurangi kegiatan memanah dan mengisi waktu dengan belajar Bahasa Arab dan menekuni syair-syair Arab. Dalam waktu yang tidak lama, beliau menjadi anak muda Quraisy yang mahir Bahasa Arab dan syair. Beliau juga menghafal Al-Quran sehingga pada usia 7 tahun, beliau telah hafal 30 juz Al-Quran.

Imam Syafi’i kemudian mulai menyenangi dan mempelajari Fiqih. Beliau belajar dari para ulama Fiqih di Mekkah, seperti Muslim bin Khalid bin az-Zanzi yang waktu itu merupakan mufti (pemberi fatwa) Mekkah. Beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman al-Atthar, dari pamannya Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin al-Ayyadh, dan masih banyak lagi. Hanya dalam beberapa tahun, beliau sudah menonjol dalam penguasaan Fiqih.

Imam Syafi’i kemudian pergi menuntut ilmu ke Madinah di majelis ilmu Imam Malik bin Anas. Di majelis ini, beliau berhasil dengan cemerlang menghafal dan memahami kitab karya Imam Malik, Al-Muwattha’. Kecerdasannya membuat Imam Malik sangat mengaguminya. Beliaupun sangat mengagumi Imam Malik di Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Mekkah. Beliau menyatakan kekagumannya pada dua orang tersebut saat beliau sudah menjadi imam:
“Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya hilanglah ilmu dari Hijaz.”
“Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.”
“Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Quran, lebih dari kitab Al-Muwattha’.”
“Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali pasti bertambah pemahamanku.”

Bisa disimpulkan dari perkataan Imam Syafi’i, bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Beliau juga belajar ilmu dari ulama Madinah lain seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz ad-Darawardi, dan Ibrahim bin Yahya. Namun, guru yang disebut terakhir ini ternyata adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, dan memiliki pandangan menolak untuk beriman kepada takdir (Rukun Iman ke-6). Ketika Imam Syafi’i telah terkenal dengan gelar “imam”nya, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Yahya dalam berbagai periwayatan ilmu.

Menginjak usia 20 tahun, Imam Syafi’i sudah memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan ulama di zamannya dalam berfatwa dan penguasaan ilmu Al-Quran dan Sunnah. Kehausan akan ilmu membuatnya kembali belajar di negeri Yaman. Beberapa ulama di Yaman yang didatangi beliau misalnya Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadli. Setelah Yaman, Imam Syafi’i menuju Baghdad. Di kota ini, beliau menimba ilmu dari Ahlul-fiqh Baghdad, Muhammad bin al-Hasan, dan Isma’il bin Ulaiyyah, Abdul Wahhab ats-Tsaqafi, serta ulama-ulama lain.

Sejak di Baghdad, Imam Muhammad mulai dikerumuni para murid dan mulai menulis berbagai keterangan agama. Beliau menulis kitab Fiqih dan Ushul Fiqih. Beliau juga mulai membantah beberapa imam Ahlul-fiqh yang tidak sejalan dengan sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam.


Popularitas Imam Asy-Syafi’i

Popularitas Imam Muhammad semakin naik, dan menyebabkan banyak orang berbondong-bondong mendatangi majelis ilmu beliau. Tokoh-tokoh yang mendatangi majelis beliau misalnya Abu Bakr Abdullah bin az-Zubair al-Humaidi (salah satu guru Imam al-Bukhori), Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam, Ahmad bin Hanbal (yang kemudian dikenal sebagai Imam Hanbali), Sulaiman bin Dawud al-Hasyimi, Abu Ya’qub Yusuf al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud al-Makki, Abdul Aziz bin Yahya al-Kinani al-Makki (penyusun kitab Al-Haidah), Husain bin Ali al-Karabisi (yang pernah di-tahdzir oleh Imam Ahmad karena berpendapat bahwa lafadh orang yang membaca Al-Quran adalah makhluk), Ibrahim bin al-Mundzir al-Hizami, al-Hasan bin Muhammad az-Za’farani, Ahmad bin Muhammad al-Azraqi, dan lain-lain. Dari semuanya, yang paling terkenal sangat mengagumi beliau adalah Ahmad bin Hanbal, yang kemudian dikenal dengan sebutan Imam Hanbali.

Imam al-Mizzi meriwayatkan dengan sanad-nya yang bersambung pada Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali):
Aku pernah bertanya kepada ayahku, “Wahai ayah, siapa sesungguhnya asy-Syafi’i itu, karena aku terus-menerus mendengar ayah mendoakannya?”
Maka ayahku menjawab, “Wahai anakku, sesungguhnya asy-Syafi’i itu adalah bagaikan Matahari untuk dunia ini, dan ia juga sebagai kesejahteraan bagi sekalian manusia. Maka silakan engkau cari, adakah orang yang seperti beliau dalam dua fungsi ini (sebagai Matahari dan kesejahteraan) dan adakah pengganti fungsi beliau tersebut?”

Sulaiman bin al-Asy’ats meriwayatkan:
Aku melihat Ahmad bin Hanbal tidaklah condong kepada seorangpun seperti condongnya kepada asy-Syafi’i.

Al-Maimuni juga meriwayatkan bahwa Imam Hanbali menyatakan:
Aku tidak pernah meninggalkan doa kepada ALLAH di sepertiga terakhir malam untuk enam orang. Salah satunya ialah untuk asy-Syafi’i.

Imam Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali) meriwayatkan:
Pernah ayahku berjalan di samping keledai yang ditunggangi Imam Syafi’i untuk bertanya-tanya ilmu kepadanya. Maka melihat demikian, Yahya bin Ma’ien, sahabat ayahku, mengirim orang untuk menegur beliau.
Yahya berkata padanya, “Wahai Aba Abdillah (panggilan bagi Imam Hanbali), mengapa engkau ridho untuk berjalan dengan keledainya asy-Syafi’i?”
Ayah pun berkata kepada Yahya, “Wahai Aba Zakaria (panggilan bagi Yahya bin Ma’ien), seandainya engkau berjalan di sisi lain dari keledai itu, niscaya akan lebih bermanfaat bagimu.”

Al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh-nya meriwayatkan dengan sanad-nya dari Abu Tsaur:
Abdurrahman bin Mahdi pernah menulis surat kepada asy-Syafi’i, dan waktu itu asy-Syafi’i masih muda beliau. Dalam surat itu, Abdurrahman meminta kepadanya untuk menuliskan untuknya sebuah kitab yang terdapat padanya makna-makna Al-Quran, dan juga mengumpulkan berbagai macam tingkatan hadits, keterangan tentang kedudukan ijma’ (kesepakatan ulama) sebagai hujjah/dalil, keterangan hukum yang nasikh (hukum yang menghapus hukum lainnya), baik yang ada dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Maka Syafi’i muda menuliskan untuknya kitab Ar-Risalah dan kemudian dikirimkan kepada Abdurrahman. Begitu membacanya, Abdurrahman sangat kagum dan senang kepada asy-Syafi’i.
[Kitab Ar-Risalah akhirnya menjadi kitab rujukan utama para ulama Ushul Fiqih hingga hari ini.]

Pujian dan kekaguman terhadap Imam Syafi’i tidak hanya datang dari orang-orang yang seangkatan ilmu dengan beliau, tapi juga dari guru-guru beliau. Salah satunya adalah Sufyan bin Uyainah.

Suwaid bin Saied meriwayatkan:
Aku pernah duduk di majelis ilmunya Sufyan bin Uyainah. Asy-Syafi’i datang ke majelis itu, masuk sembali mengucapkan salam dan langsung duduk untuk mendengarkan Sufyan yang sedang menyampaikan ilmu. Waktu itu Sufyan sedang membaca sebuah hadits yang sangat menyentuh hati. Betapa lembutnya hati beliau saat mendengar hadits itu menyebabkan asy-Syafi’i mendadak pingsan. Orang-orang di majelis menyangka bahwa asy-Syafi’i telah meninggal dunia sehingga peristiwa itu dilaporkan kepada Sufyan, “Wahai Aba Muhammad (panggilan bagi Sufyan bin Uyainah), Muhammad bin Idris telah meninggal dunia.”
Sufyan berkata, “Bila memang dia meninggal dunia, maka sungguh telah meninggal orang yang terbaik bagi ummat ini di zamannya.”


Akhir Hayat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i tinggal di Baghdad selama dua tahun. Setelah itu beliau pindah ke Mesir dan menetap di sana hingga wafat pada 204 H di usia 54 tahun.


Warisan Imam Syafi’i

Warisan berupa ilmu Ushul Fiqih beliau wariskan dalam kitab Ar-Risalah. Beliau juga menulis kitab Musnad asy-Syafi’i, yakni kumpulan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh beliau. Kitab lainnya adalah Al-Um yang merupakan kumpulan keterangan beliau dalam masalah Fiqih. Kumpulan riwayat keterangan Imam Syafi’i dalam Fiqih juga disusun oleh Imam al-Baihaqi dalam Ma’rifatul Atsar was-Sunan.

Al-Imam Abu Nu’aim al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasihat dan pernyataan Imam Syafi’i mengenai berbagai masalah yang menunjukkan pendirian Imam Syafi’i dalam memahami Islam. Beberapa riwayat tersebut adalah:

1.      Imam Syafi’i menyatakan:
“Bila aku melihat Ahlul-hadits, seakan aku melihat seorang dari shohabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam.” [riwayat Abu Nu’aim al-Asfahani dalam Al-Hilyah juz 9 hal.109]
Hal ini menunjukkan betapa tingginya penghargaan beliau kepada para Ahlul-hadits.

2.      Imam Syafi’i menyatakan:
“Sungguh seandainya seseorang itu ditimpa dengan berbagai amalan yang dilarang oleh ALLAH selain dosa syirik, lebih baik baginya daripada dia mempelajari ilmu Kalam.” [riwayat Abu Nu’aim al-Asfahani dalam Al-Hilyah juz 9 hal.111]
“Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada dalam ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia lari dari macan.”
Hal ini menunjukkan bahwa beliau anti terhadap ilmu kalam, ilmu yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu Filsafat.

3.      Ar-Rabi’ bin Sulaiman meriwayatkan bahwa dia mendengar Imam Syafi’i berkata:
“Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Quran itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir.” [riwayat Abu Nu’aim al-Asfahani dalam Al-Hilyah juz 9 hal.113]
Abu Nu’aim juga meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i telah mengkafirkan seorang tokoh ahli ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Hafs al-Fardi, karena dia menyatakan di hadapan Imam Syafi’i bahwa Al-Quran adalah makhluk.

4.      Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanad-nya dari al-Buwaithi:
Aku bertanya kepada asy-Syafi’i, “Bolehkah aku sholat di belakang imam yang Rafidhi?”
Maka beliau menjawab, “Jangan engkau sholat di belakang imam yang Rafidhi, ataupun Qodari ataupun Murji’i.”
Aku bertanya lagi, “Terangkan kepadaku tentang siapakah masing-masing dari mereka itu?”
Beliau menjawab, “Barangsiapa menyatakan bahwa iman itu hanya perkataan lisan dan hati belaka, maka dia adalah murji’i. Barangsiapa menyatakan bahwa Abu Bakar dan Umar bukan Imammnya Muslimin, maka dia adalah rafidhi. Barangsiapa menyatakan bahwa kehendak berbuat itu sepenuhnya dari dirinya (yakni tidak meyakini bahwa kehendak berbuat itu diciptakan oleh ALLAH), maka dia adalah qodari.”

Aliran Murji’ah menyatakan bahwa iman hanya keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman. Aliran ini juga menyatakan bahwa iman tidak bertambah dengan perbuatan taat kepada ALLAH dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan.
Rafidhi sering disebut Syiah di Indonesia. Aliran ini terkenal dengan sikap kebencian mereka kepada para shohabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, khususnya Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Qodariyah adalah aliran pemahaman yang menolak beriman pada Rukun Iman ke-6, (iman kepada adanya takdir ALLAH Ta’âla).

5.      Imam Syafi’i juga menganjurkan kaum Muslim supaya tidak ber-taqlid (mengikuti dengan membabi buta) kepada seorangpun sehingga meninggalkan Al-Quran dan Sunnah.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam Hilyah-nya dengan sanad-nya yang shohih dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal:
Ayahku telah menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris asy-Syafi’i berkata, “Wahai Aba Abdillah (yakni Ahmad bin Hanbal), engkau lebih mengetahui hadits-hadit shohih dari kami. Maka bila ada hadits yang shohih, beritahukanlah kepadaku sehingga aku akan bermadzhab dengannya. Sama saja bagiku, apakah perawinya itu orang Kufah, ataukah orang Basrah, ataukah orang Syam.”


Thanks for reading  ^_^

Sumber:

Daftar pustaka (seperti yang tercantum pada sumber):
1)      Tarikh Baghdad , Al-Khatib Al-Baghdadi, jilid 2 hal. 58 – 59, Darul Fikr – Beirut Libanon, tanpa tahun.
2)      Hilyatul Awliya’ Wathabaqatul Asfiya’ , Abu Nu’aim Al-Ashfahani, jilid 9 hal 65 – 66. Juga hal. 67, Darul Fikr, Beirut – Libanon, et. 1416 H / 1996 M. Lihat pula Tahdzibul Kamal jilid 24 hal. 358 – 360. Al-Hafidh Al-Mutqin Jamaluddin Abul Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, diterbitkan oleh Mu’assatur Risalah, cet. Pertama th. 1413 H / 1992 M.
3)      Tarikh Baghdad , Al-Khatib Al-Baghdadi, jilid 2 hal. 60.
4)      Ibid, hal. 63.
5)      Hilyatul Awliya’ , Al-Hafidh Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Asfahani, jilid 9 hal 70, Darul Fikr Beirut Libanon, cet. Th. 1416 H / 1996 M.
6)      Siar A’lamin Nubala’ , Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 6 – 7, Mu’assasatur Risalah, cetakan ke 11 th. 1417 H / 1996 M.
7)      Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal , Al-Hafidh Al-Mutqin Jamaluddin Abil Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, jilid 24 hal. 271.
8)      Siar A’lamin Nubala’ , Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 18. Riwayat Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyatul Auliya’ juz 9 hal. 95.
9)      Hilyatul Auliya’ , Abu Nu’aim Al-Asfahani, jilid 9 hal 109 – 113.
10)  Siar A’lamin Nubala’ , Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 31.
11)  Hilyatul Auliya’ , Al-Hafidh Abu Nu’aim Al-Asfahani, jilid 9 hal. 170.
12)  Riwayat Al-Baihaqi dalam Manaqib-nya dan Ibnu Asakir dalam Tarikh nya dan dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Siar A’lamin Nubala’ jilid 10 hal. 17.
13)  Riwayat dalam Aadâbus Syafi`i dan Al-Bidayah. Dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Siar A’lamin Nubala’ jilid 10 hal. 35.


P.S.
Silakan kalau mau copy-paste, dan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.



Related Posts:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar