بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
Berita
(khabar) yang dapat diterima bila
ditinjau dari sisi perbedaan tingkatannya terbagi menjadi dua klasifikasi
pokok, yaitu shohih dan hasan. Masing-masing dari keduanya
terbagi menjadi dua klasifikasi lagi, yaitu Li
Dzâtihi dan Li Ghairihi. Dengan
demikian, klasifikasi berita yang diterima terbagi menjadi 4, yaitu:
1. Shohih Li Dzâtihi (shohih secara independen)
2. Hasan Li Dzâtihi (hasan secara independen)
3. Shohih Li Ghairihi (shohih karena yang lainnya/riwayat
pendukung)
4. Hasan Li Ghairihi (hasan karena yang lainnya/riwayat
pendukung)
Dalam tulisan ini, yang akan dibahas adalah Shohih Li Dzâtihi (shohih secara independen).
Definisi
Shohih
Secara
etimologi, kata “sehat” adalah antonim dari kata “sakit”. Bila diungkapkan
terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi). Namun bila diungkapkan di dalam hadits dan
pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
Secara terminologi, makna “shohih” adalah hadits yang bersambung sanad-nya (jalur riwayat) melalui periwayatan seorang perawi (periwayat) yang ‘adil, dhâbith, dari perawi semisalnya hingga ujung sanad, dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit). Definisi istilah-istilah tersebut antara lain:
Secara terminologi, makna “shohih” adalah hadits yang bersambung sanad-nya (jalur riwayat) melalui periwayatan seorang perawi (periwayat) yang ‘adil, dhâbith, dari perawi semisalnya hingga ujung sanad, dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit). Definisi istilah-istilah tersebut antara lain:
Sanad
bersambung ---> setiap rangkaian dari para perawinya telah mengambil
periwayatan itu secara langsung dari perawi di atasnya (sebelumnya) dari
permulaan sanad hingga akhirnya.
Perawi yang ‘adil
---> setiap rangkaian dari para perawinya memiliki kriteria seorang Muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan juga tidak cacat maruah-nya (harga diri).
Perawi yang dhâbith
---> setiap rangkaian dari para perawi adalah orang-orang yang hafalannya
mantap/kuat (bukan pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di
dalam tulisan (kitab).
Tanpa syudzûdz
---> hadits yang diriwayatkan bukan hadits kategori syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang tsiqah (terpercaya) bertentangan dengan riwayat orang yang lebih tsiqah darinya).
Tanpa ‘illat ---> hadits
yang diriwayatkan bukan hadits kategori ma’lûl
(yang ada ‘illat-nya). Makna ‘illat adalah suatu sebab yang tidak
jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshohihan
suatu hadits sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.
Dari
definisi-definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa syarat suatu hadits bisa
dianggap shohih adalah:
1. Sanad-nya bersambung
2. Para perawinya ‘adil
3. Para perawinya dhâbith
4. Tidak terdapat ‘illat
5. Tidak terdapat syudzûdz
Jika
salah satu dari lima syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suatu hadits tidak
dinamakan sebagai hadits shohih.
Contoh
hadits shohih
Hadits
di bawah ini dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya, Shohih al-Bukhâri. Beliau berkata:
‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia
berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin
Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wasallam telah membaca Surat ath-Thûr pada shalat Maghrib.
Hadits
tersebut dinilai shohih karena:
1. Sanad-nya bersambung, sebab masing-masing dari rangkaian para
perawinya mendengar dari syaikh-nya. Sedangkan penggunaan lafazh (dari) “oleh Malik, Ibnu Syihab dan Ibnu Jubair” termasuk
mengindikasikan ketersambungannya karena mereka bukan digolongkan sebagai
perawi mudallis (perawi yang suka
mengaburkan riwayat).
2. Para perawinya dikenal sebagai orang-orang yang ‘adil dan dhâbith. Dalam al-Jarh wa
at-Ta’dîl, ulama menyebutkan sifat mereka:
a.
‘Abdullah bin Yusuf ---> Tsiqah Mutqin
b.
Malik bin Anas ---> Imâm Hâfizh
c.
Ibnu Syihab ---> Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan
ketekunannya
d.
Muhammad bin Jubair ---> Tsiqah
e.
Jubair bin Muth’im --->
Seorang sahabat
3. Tidak terdapatnya kejanggalan (syudzûdz) sebab tidak ada riwayat yang lebih kuat darinya.
4. Tidak terdapat ‘illat
apapun.
Menurut
kesepakatan (ijma’) para ulama hadits
dan para ulama Ushul Fiqih dan Fuqaha yang memiliki kapabilitas, hadits
shohih wajib diamalkan. Dengan demikian,
hadits shohih dapat dijadikan hujjah syari’at dan seorang Muslim tidak
boleh diberikan kesempatan untuk tidak mengamalkannya.
Makna
ungkapan para ulama hadits “Hadits ini shohih”
dan “Hadits ini tidak shohih”
Ucapan
“Hadits ini shohih” bermakna bahwa
lima syarat keshohihan telah
terealisasi dan terdapat pada suatu hadits. Namun di lain pihak, hal tersebut
bukan berarti pemastian keshohihannya
sebab bisa jadi seorang perawi yang tsiqah
keliru atau lupa.
Maksud
ucapan “Hadits ini tidak shohih” adalah
bahwa lima syarat tersebut ataupun sebagiannya belum terealisasi pada suatu
hadits. Namun di lain pihak, hal tersebut bukan berarti hadits itu merupakan
berita bohong sebab bisa saja seorang perawi yang banyak kekeliruan bertindak
benar.
Sanad paling shohih
mutlak
Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa sanad tertentu tidak dapat dinyatakan
secara mutlak sebagai sanad yang
paling shohih. Hal ini karena
perbedaan tingkatan keshohihan itu
didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat keshohihan, sedangkan terpenuhinya kualitas paling tinggi dalam
syarat-syarat tersebut sangat jarang terjadi. Oleh karena itu, lebih baik
menahan diri dari menyatakan bahwa sanad
tertentu merupakan sanad yang paling shohih
secara mutlak. Meskipun demikian, sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan
pada sanad-sanad yang dianggap paling
shohih. Meski sebenarnya,
masing-masing imam menguatkan pendapat yang menurut mereka lebih kuat.
Beberapa
pernyataan tersebut menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang paling shohih adalah:
1. Riwayat az-Zuhri dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin
‘Umar); ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam
Ahmad.
2. Riwayat Ibnu Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Ali (bin Abi Thalib);
ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ibnu al-Madini dan al-Fallas.
3. Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah
(bin Mas’ud); ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
4. Riwayat az-Zuhri dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya dari
‘Ali; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
5. Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar; ini adalah
pernyataan yang dinukil dari Imam al-Bukhari.
Ash-Shohihain
Ash-Shohihain adalah kitab hadits Imam
Bukhari dan Imam Muslim. Kitab Shohih
al-Bukhâri adalah kitab pertama yang
hanya membuat hadits shohih saja.
Kitab selanjutnya adalah Shohih Muslim. Kedua kitab tersebut adalah
kitab paling shohih setelah
Al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’)
untuk menerima keduanya.
Shohih al-Bukhâri dianggap yang paling shohih. Selain paling banyak faedahnya,
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari paling tersambung sanad-nya dan para perawinya paling tsiqah. Di dalamnya juga terdapat
intisari-intisari fiqih dan kata-kata bijak yang tidak terdapat dalam Shohih Muslim. Namun, tinjauan ini
bersifat kolektif, karena terkadang sebagian hadits riwayat Imam Muslim lebih
kuat dari sebagian hadits riwayat Imam Bukhari. Ada juga ulama yang berpendapat
bahwa Shohih Muslim lebih shohih, namun jumhur ulama menyatakan Shohih al-Bukhâri lebih shohih.
Tidak
semua hadits shohih tercantum dalam ash-Shohihain. Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim tidak mencantumkan semua hadits ke dalam kitab shohih mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Al-Bukhari sendiri pernah menegaskan bahwa beliau belum
mencatat seluruh hadits (yang dianggap) shohih. Imam
Muslim pun berkata, “Tidak semua yang menurut saya shohih saya muat di sini, yang saya muat hanyalah yang disepakati
atasnya.”
Sebagian
ulama berpendapat bahwa hanya sedikit hadits shohih yang belum dicantumkan dalam ash-Shohihain. Namun, jumhur
ulama menyatakan bahwa masih banyak hadits shohih
yang belum mereka cantumkan. Imam al-Bukhari mengatakan, “Hadits-hadits shohih lainnya yang aku tinggalkan lebih
banyak.” Beliau juga menyatakan, “Aku hafal sebanyak 100.000 hadits shohih dan 200.000 hadits yang tidak shohih.”
Shohih al-Bukhâri memuat 7.275 hadits termasuk yang diulang, sedangkan
yang tanpa diulang sebanyak 4.000 hadits. Di dalam Shohih Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang diulang,
sedangkan yang tanpa diulang lebih kurang 4.000 hadits juga.
Kitab hadits lain
Kitab
hadits lain yang terpercaya dan termasyhur adalah Shohih Ibnu Khuzaimah, Shohih Ibnu Hibbân, Mustadrak al-Hâkim,
Empat Kitab Sunan, Sunan ad-Dâruquthni,
Sunan al-Baihaqi, dan lain-lain.
(1)
Mustadrak ash-Shohihain karya al-Hâkim
Mustadrak ash-Shohihain
adalah sebuah kitab hadits tebal yang memuat hadits-hadits yang shohih berdasarkan persyaratan yang
ditentukan oleh asy-Syaikhân
(al-Bukhari dan Muslim) atau salah satunya. Kitab ini juga memuat hadits yang
belum tercantum dalam ash-Shohihain
namun hadits tersebut sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan mereka berdua.
Al-Hâkim juga memuat
hadits-hadits yang dianggapnya shohih
meskipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua imam hadits
tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya shohih. Terkadang beliau juga memuat hadits yang tidak shohih namun hal itu diingatkan olehnya.
Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang mutasâhil (yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshohihan hadits. Oleh karena itu, perlu
diadakan analisis terhadap kualitas hadits-haditsnya sesuai dengan kondisinya.
Imam adz-Dzahabi telah menganalisis dan memberikan penilaian terhadap
kebanyakan haditsnya sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini masih tetap
perlu dianalisis.
(2)
Shohih Ibnu Hibbân
Sistematika penulisan kitab ini
tidak rapi (acak). Kitab ini tidak disusun perbab ataupun per-musnad. Oleh karena itu, beliau
menamakan bukunya “at-Taqâsîm wa al-Anwâ’” (Klasifikasi-Klasifikasi dan Beragam
Jenis). Mencari suatu hadits dalam kitab ini sangat sulit. Meski begitu, ada
sebagian ulama muta`akhkhirin (seperti al-Amir ‘Alâ` ad-Dîn,
Abu al-Hasan ‘Ali bin Bilban, w.739 H
dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb Ibnu
Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan bab.
Ibnu
Hibbân juga dikenal sebagai ulama yang mutasâhil
namun lebih ringan daripada al-Hâkim. (Tadrîb
ar-Râwy:1/109)
(3)
Shohih Ibnu Khuzaimah
Kualitas keshohihan kitab ini lebih tinggi daripada Shohih Ibnu Hibbân karena penulisnya, Ibnu Khuzaimah, dikenal
sebagai orang yang sangat berhati-hati. Saking hati-hatinya, beliau kerap
abstain (tidak memberikan penilaian) terhadap suatu keshohihan hadits karena kurangnya pembicaraan seputar sanad-nya.
Tingkatan
keshohihan
1.
Tingkatan
tertinggi atau pertama, yaitu jika diriwayatkan dengan sanad yang paling shohih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar.
2.
Tingkatan
ke dua, yaitu jika diriwayatkan dari jalur Rijâl
(rentetan para perawi) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama di atas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas.
3.
Tingkatan ke tiga, yaitu jika
diriwayatkan oleh perawi yang terbukti dinyatakan sebagai perawi tsiqah terendah, seperti riwayat Suhail
bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Tujuh
tingkatan hadits shohih
1.
Hadits yang diriwayatkan secara
sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (tingkatan paling tinggi).
2.
Hadits yang diriwayatkan secara
tersendiri oleh al-Bukhari.
3.
Hadits yang dirwayatkan secara
tersendiri oleh Muslim.
4.
Hadits yang diriwayatkan
berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya.
5.
Hadits yang diriwayatkan
berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya.
6.
Hadits yang diriwayatkan
berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya.
7.
Hadits yang dinilai shohih oleh ulama selain keduanya
seperti Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua
imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).
Thanks for reading
^_^
Sumber:
Buku “Menyongsong Imam Mahdi: Sang
Penakluk Dajjal”, 2009 (cetakan IV), karya Muhammad Isa Dawud
P.S.
Silakan kalau mau copy-paste,
namun kalau tidak keberatan mohon sertakan link-back
ke blog ini. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar