Minggu, 09 Juni 2013

PRIA MENYERUPAI WANITA (BANCI, WARIA) DAN SEBALIKNYA

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Menyerupai di sini berarti dengan sengaja meniru-niru atau menyerupai dalam hal berpakaian, berperilaku, dan berbicara, bukan memang tercipta dengan fisik seperti itu. Pria yang menyerupai wanita disebut al-mukhannats, dan wanita yang menyerupai pria disebut al-mutarajjilah.

Ibnu Abbas berkata:
Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau, “Keluarkan mereka dari rumah kalian”, maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam mengusir Si Fulan, sedangkan Umar mengusir Si Fulan. [HR al-Bukhori no. 5886. Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam riwayat versi Abu Dzar al-Harawi (salah seorang perawi kitab Shohih al-Bukhori yang menjadi acuan Ibnu Hajar menyusun kitab Fathul Bâri), akhir hadits ini menyebutkan bahwa Umar mengusir Si Fulanah (wanita). Sedangkan pada riwayat lain Si Fulan (pria).]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam melaknat para pria yang menyerupai wanita, dan para wanita yang menyerupai pria. [HR al-Bukhori no. 5885]

Riwayat ke dua ini menafsirkan mukhannats dan mutarajillah yang ada pada hadits pertama. Al-mukhannats, yang berasal dari kata “al-inkhinaats”, dari kata dasar “khanitsa-yakhnatsu”, berarti berlenggak-lenggok dan bergaya seperti wanita. Disebut seperti itu karena pria tersebut dalam segala hal (berpakaian, cara jalan, berbicara, dan hal feminin lainnya) meniru wanita dengan disengaja. Sedangkan bila pria tersebut memang secara alami berpenampilan seperti wanita, atau pembawaan sifatnya seperti sifat wanita, maka ia harus melatih diri untuk meninggalkan kebiasaan tersebut. Sedangkan al-mutarajjilah, yang berasal dari kata “ar-rajilah”, berarti wanita yang meniru-niru perbuatan pria dalam segala hal. Terjemahan yang paling mendekati mungkin adalah “tomboy”. [Mu’jam Lughatil-Fuqoha’, 1/417]

Dalam Syarah-nya, al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa laknat dan celaan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tadi ditujukan kepada orang yang sengaja meniru lawan jenisnya. Bila hal tersebut merupakan sifat bawaan, maka ia diperintahkan untuk berusaha meninggalkannya semaksimal mungkin secara bertahap. Bila ia tidak berusaha meninggalkannya dan membiarkan dirinya seperti itu, maka dia berdosa, terlebih bila ia menunjukkan sikap ridho dengan sifatnya tersebut.

Sebagian ulama menyatakan bahwa mukhannats alami tidak dianggap tercela atau berdosa. Maksudnya ialah orang yang tidak bisa meninggalkan hal tersebut setelah ia berusaha meninggalkannya. Sedangkan bila ia masih mampu meninggalkannya walaupun secara bertahap, maka ia dianggap berdosa bila melakukannya tanpa udzur. [Fathul-Bâri, 10/332]

Dari hal tersebut, maka yang disebut mukhannats (banci) terbagi menjadi dua:
1.      Banci alami. Yaitu pria yang ucapannya lembut dan tubuhnya gemulai secara alami, dan ia dikenal bukan orang yang suka berbuat keji. Pria seperti ini tidak dianggap fasik. Dia bukan orang yang dimaksud dalam hadits-hadits sebagai objek celaan dan laknat. Namun, pria tersebut harus berusaha meninggalkannya.
2.      Banci disengaja. Yaitu pria yang dengan sengaja meniru-niru wanita dalam hal berbicara, berperilaku, dan semacamnya. Perbuatan ini adalah tercela dan maksiat serta menjadikan pelakunya tergolong fasik. [Pembagian ini juga dipahami dari penjelasan sejumlah ulama dalam kitab-kitab mereka, seperti Ibnu Abdil Barr dalam at-Tahmid, 22/273; Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, 7/462; asy-Syirbini dalam Mughil Muhtâj, 4/430]

Pembagian tersebut juga berlaku bagi wanita dan waria. Oleh karena itu, tindakan menyerupai lawan jenis bukan perkara sepele karena termasuk dosa besar dan tercela.


Profesi Kebanci-bancian

            Saat ini, banyak sekali profesi yang para pekerjanya berperilaku sebagai banci, seperti penata rias, desainer, pengamen, dan pelawak. Namun, para ulama salaf juga menganggap bahwa profesi penyanyi yang banyak dilakoni pria normal adalah profesi banci.

            Al-Marwazi meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata:
Penghasilan orang banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan uang lewat menyanyi, dan orang banci tidaklah menyanyikan syair-syair yang mengajak untuk zuhud; namun ia bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi kematian.
Dari riwayat ini, Imam Ahmad menganggap bahwa penghasilan seorang banci sebagai sesuatu yang makruh. [Talbis Iblis, 1/281; Majalah al-Fiqh al-Islamy, 4/1923]

            Yang dimaksud “makruh” oleh Imam Ahmad adalah karâhah tahrim, yaitu makruh yang berarti haram, karena beliau mengaitkannya dengan hal-hal yang bersifat haram, seperti bernyanyi seputar cinta, asmara, dan meratapi kematian. Jadi, menurut para ulama salaf, seorang penyanyi adalah banci, dan penghasilan mereka adalah haram karena diperoleh dengan cara yang haram. Apalagi jika mereka sengaja berperilaku seperti wanita, sebagaimana yang sering dilakukan para pelawak.

            Banci yang bekerja sebagai penata rias (di salon dan sebagainya) dan melayani wanita yang bukan mahramnya, hukumnya makruh jika ia seorang banci alami karena hal ini justru membiarkan dan melestarikan sifat bancinya, padahal ia diperintahkan untuk meninggalkannya. Namun bila ia berpura-pura menjadi banci, maka pekerjaan ini hukumnya haram.

            Banci yang bekerja sebagai penjaja cinta dan akrab dengan tindak-tindak asusila, maka hukumnya lebih diharamkan lagi karena mereka juga melakukan perbuatan kaum Nabi Luth ‘alaihissalam yang sangat tercela dan berat hukumannya.


Beberapa Kebiasaan Banci

[1] Mewarnai Tangan dan Kaki

            Imam Nawawi (ulama besar Syafi’iyah) mengatakan:
Mewarnai kedua tangan dan kaki dengan pacar (hinâ’) dianjurkan bagi wanita yang bersuami. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits yang masyhur dalam bab ini. Akan tetapi ia haram bagi kaum pria, kecuali bila digunakan sebagai obat dan semisalnya. Salah satu dalil yang menunjukkan keharamannya adalah sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam hadits shohih, bahwa ALLAH melaknat kaum pria yang menyerupai wanita dan kaum wanita yang menyerupai pria. Demikian pula dalam hadits shohih dari Anas, bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam melarang pria menggunakan za’rafan. [HR al-Bukhori dan Muslim]
Larangan ini berkenaan dengan warnanya, bukan dengan aromanya, sebab menggunakan sesuatu yang harum hukumnya sunnah bagi pria. Hinâ, dalam hal ini juga sama dengan za’rafan (saffron). [al-Majmu’, 1/294]

            Imam asy-Syaukani mengatakan:
Telah dijelaskan bahwa mewarnai tangan dan kaki dengan pacar adalah perbuatan kaum wanita. Dan sebagaimana diketahui, hal ini dilakukan oleh pria yang ingin menyerupai wanita. [As-Sailul-Jarrar, 4/126]


[2] Menabuh Gendang

            Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
Karena menyanyi, menabuh rebana, dan bertepuk tangan adalah perbuatan wanita; maka para Salaf menamakan kaum pria yang melakukannya sebagai mukhannats (banci). Mereka menamakan para penyanyi sebagai kaum banci, dan ini sangat populer dalam ucapan mereka. [Majmu’ Fatwa, 11/565-566; I’anatut Thalibin, 6/121; Mughnil Muhtâj, 4/430; al-Mughni, 12/40]


[3] Menyanyi

            Ibnu Taimiyah juga mengatakan:
Salah satu perbuatan muhdats (baru, bid’ah) yang diadakan oleh mereka (kaum sufi) ialah mendengarkan nyanyian para banci yang terkenal dengan biduan orang-orang fasik dan pezina. Atau terkadang mereka mendengarkan nyanyian bocah-bocah kecil berwajah tampan, atau kaum wanita jelita; sebagaimana kebiasaan pengunjung tempat-tempat hiburan. [Al-Istiqamah, 1/306; Majmu’ Fatwa, 11/565-566]


[4] Berjoget

            Menurut Madzhab Hanafi, orang yang menghalalkan berjoget adalah kafir. Yang dimaksud joget di sini adalah melakukan gerakan miring ke sana ke mari yang disertai mengbungkukkan dan mengangkat badan dengan cara tertentu, sebagaimana tarian tarekat sufi. [Hâsyiyah Ibnu Abidin, 4/259]

            Menurut Madzhab Syafi’i, berjoget tidak diharamkan kecuali bila gerakannya lemah gemulai seperti orang banci. [Al-Minhâj, 1/497, oleh an-Nawawi]

            Ulama Malikiyah dan Hanabilah menganggap hukum berjoget adalah makruh. [Hâsyiyah ash-Shawi, 5/217; al-Inshaf, 6/89]

            Ash-Shan’ani mengatakan:
Berjoget dan bertepuk tangan adalah kebiasaan orang fasik dan bejat, bukan kebiasaan orang yang mencintai ALLAh dan takut kepada-NYA. [Subulus-Salâm, 5/1]


[5] Memangkas Janggut dan Mencukurnya

            Maksudnya ialah janggut yang panjangnya kurang dari satu genggam. Ibnu Abidin mengatakan:
Adapun memangkas janggut yang panjangnya kurang dari satu genggam, sebagaimana dilakukan sebagian orang Maghrib dan pria banci, maka tidak ada seorang alimpun yang membolehkannya. [Hâsyiyah Ibnu Abidin, 2/418]


Beberapa Aturan Terkait Banci

[1] Menjadi Imam Shalat

            Jika ia banci alami, maka ia sah menjadi imam. Namun ia tetap diperintahkan untuk berusaha meninggalkan sikap bancinya.

            Jika ia bukan banci alami, maka ia dianggap fasik. Dan orang fasik makruh untuk menjadi imam. Hal ini menurut ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan salah satu riwayat dalam Madzhab Maliki. [Al-Mabsuth, 1/111; Al-Umm, 1/166; Al-Majmu’, 4/287; Asy- Syarh al-Kabîr, 1/326 dan Al-Muhalla, 4/212]
Menurut ulama Hanabilah dan Malikiyah dalam riwayat lainnya, orang fasik tidak sah menjadi imam. [Al-Inshaf, 2/252; Syarah Muntahal Iradat, 1/272; At-Tâj wal-Iklîl, 2/93] Hal ini didasarkan pada pendapat Imam az-Zuhri yang mengatakan, “Menurut kami, tidak boleh shalat bermakmum di belakang pria banci, kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi,” sebagaimana yang dinukil oleh Imam al-Bukhori. [Shohih al-Bukhori, 1/141]


[2] Memandang Wanita

            Bolehkah seorang banci memandang wanita? Mengenai perkara ini, terdapat dua kondisi:
1)      Jika banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka tidak ada khilaf (dalam hal ini) bahwa dia diharamkan dan termasuk perbuatan fasik. [Fathul-Qadîr, 2/222; at-Tamhid, 22/273; Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan al-Mughni, 7/462]
2)      Jika ia banci alami dan tidak memiliki kecenderungan terhadap wanita, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
a.      Ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah memberi rukhsah (keringanan) bagianya untuk berada di tengah kaum wanita dan memandang mereka. Dalilnya ialah firman ALLAH Ta’âla yang menyatakan siapa saja boleh melihat wanita dan siapa-siapa saja yang kaum wanita boleh berhias di hadapannya, yakni “atau pelayan-pelayan pria yang tidak bersyahwat (terhadap wanita) … [Penggalan dari ayat 31 Surat an-Nûr; At-Tamhid, 22/273 dan al-Mughni, 7/462]
b.      Ulama Syafi’iyah dan mayoritas Hanafiyah berpendapat bahwa meski pria banci tidak bersyahwat terhadap wanita, dia tetap tidak boleh memandang wanita. Dalam hal ini, dia tetap dihukumi sebagai pria normal. [Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan al-Mabsuth, 12/382]
Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah berikut:
Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah bersamanya dan saat itu di rumahnya terdapat seorang banci, maka si banci berkata kepada Abdullah saudara Ummu Salamah, “Hai Abdullah, jika besok ALLAH menaklukkan kota Thaif bagi kalian, maka akan kutunjukkan kepadamu putri Ghailan yang dari depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang terlihat delapan.”
Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan sekali-kali mereka (orang-orang banci) masuk ke tempat kalian (kaum wanita).” [HR al-Bukhori dalam Shohih-nya no. 5887. Yang dimaksud lipatan di sini adalah lipatan perut yang berjumlah empat bila dilihat dari depan, sedangkan dari belakang ujung-ujungnya di kedua sisi berjumlah delapan.]

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori tersebut menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk  ke tempat wanita adalah banci yang memiliki kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia bisa menceritakan keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada pria. Dikhawatirkan ia akan membongkar aurat wanita muslimah bila dibiarkan keluar masuk tempat mereka. Sedangkan banci alami yang sama sekali tidak bersyahwat terhadap wanita tidak akan melakukan hal tersebut. Pendapat yang râjih adalah pendapat yang sesuai dengan zhahir Al-Quran.


[3] Kesaksian Banci

            Menurut ulama Hanafiyah, banci yang tertolak kesaksiannya adalah yang sengaja berbicara lembah lembut dan kemayu seperti wanita. Sedangkan bila ia seperti karena alami dan dikenal bukan sebagai orang bejat, maka kesaksiannya masih diterima. [Fathul-Qadir, 17/130]

            Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, menyerupai wanita (dengan sengaja) adalah haram yang menjadikan kesaksian orang tersebut tertolak. [Al-Muhadzdzab, 2/325 dan al-Mughni, 12/40]

            Ulama Malikiyah menyatakan bahwa yang tertolak kesaksiannya ialah orang yang tidak mempunyai rasa malu, dan yang termasuk sikap ini adalah sikap menjadi banci. [Hâsyiyah ad-Dasuqi, 4/166]

            Kesimpulannya adalah empat madzhab sepakat bahwa perincian status kesaksian orang banci sama seperti yang dijelaskan oleh ulama Hanafiyah.


[4] Sanksi Bagi Banci

            Pria yang menjadi banci tidak lepas dari dua kondisi:

1)      Pria yang sengaja (bertingkah) menjadi banci tanpa terjerumus dalam perbuatan keji. Hal ini tergolong maksiat yang tidak ada had ataupun kaffaratnya. Sanksi yang pantas diterimanya bersifat ta’zir (ditentukan berdasarkan pertimbangan hakim), sesuai dengan kondisi dan perilaku sang pelaku.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah menjatuhkan sanksi kepada banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah. Hal itu juga dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau.

Ta’zir yang diberlakukan:
a.      Penjara. Menurut Madzhab Hanafi, pria yang pekerjaannya menyanyi, banci, dan meratapi kematian pantas dihukum penjara sampai mereka bertaubat. [Al-Mabsuth, 27/205]
b.      Pengasingan. Menurut Madzhab Syafi’i dan Hambali, seorang banci hendaklah diasingkan walaupun perbuatannya tergolong tidak maksiat. Pengasingan dilakukan untuk mencari kemaslahatan. [Mughnil Muhtâj, 4/192; Al-Fatawa al-Kubra, 5/529]

Imam Ibnu al-Qoyyim mengatakan:
Termasuk siasat syar’i yang dinyatakan oleh Imam Ahmad, ialah hendaklah seorang banci itu diasingkan; sebab orang banci hanya akan menimbulkan kerusakan dan pelecehan atas dirinya. Penguasa berhak mengasingkannya ke negeri lain yang di sana ia terbebas dari gangguan orang-orang. Bahkan jika dikhawatirkan keselamatannya, orang banci tadi boleh dipenjara. [Bada’i al Fawa-id, 3/694]


2)      Banci yang membiarkan dirinya dicabuli dan disodomi
Orang banci seperti sanksinya diperdebatkan oleh para ulama. Banyak fuqaha’ berpendapat ia pantas mendapat hukuman seperti pezina. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat hukumannya adalah ta’zir yang bisa sampai ke tingkat eksekusi. Para Sahabat juga berbeda pendapat tentang cara menghukumnya. [Al-Mabsuth, 11/78; Al-Fawakih ad-Dawani, 2/209; Raudhatut-Thalibin, 10/90]

Majelis Ulama Indonesia pun telah memfatwakan bahwa waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin) tersendiri, dan segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula.


Thanks for reading  ^_^


Sumber:
almanhaj [disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013]


P.S.

Silakan kalau mau copy-paste, dan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.



Related Posts:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar