بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
Menyerupai di sini berarti dengan sengaja meniru-niru atau
menyerupai dalam hal berpakaian, berperilaku, dan berbicara, bukan memang
tercipta dengan fisik seperti itu. Pria yang menyerupai wanita disebut al-mukhannats, dan wanita yang
menyerupai pria disebut al-mutarajjilah.
Ibnu Abbas berkata:
Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau, “Keluarkan
mereka dari rumah kalian”, maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam mengusir Si
Fulan, sedangkan Umar mengusir Si Fulan. [HR al-Bukhori no. 5886.
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam riwayat versi Abu Dzar al-Harawi (salah
seorang perawi kitab Shohih
al-Bukhori yang menjadi acuan Ibnu Hajar menyusun kitab Fathul Bâri), akhir hadits ini
menyebutkan bahwa Umar mengusir Si Fulanah (wanita). Sedangkan pada riwayat
lain Si Fulan (pria).]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wasallam melaknat para pria yang menyerupai wanita, dan
para wanita yang menyerupai pria. [HR al-Bukhori no. 5885]
Riwayat
ke dua ini menafsirkan mukhannats dan
mutarajillah yang ada pada hadits
pertama. Al-mukhannats, yang berasal dari kata “al-inkhinaats”, dari kata dasar
“khanitsa-yakhnatsu”, berarti berlenggak-lenggok dan bergaya seperti wanita.
Disebut seperti itu karena pria tersebut dalam segala hal (berpakaian, cara
jalan, berbicara, dan hal feminin lainnya) meniru wanita dengan disengaja.
Sedangkan bila pria tersebut memang secara alami berpenampilan seperti wanita,
atau pembawaan sifatnya seperti sifat wanita, maka ia harus melatih diri untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut. Sedangkan al-mutarajjilah,
yang berasal dari kata “ar-rajilah”, berarti wanita yang meniru-niru perbuatan
pria dalam segala hal. Terjemahan yang paling mendekati mungkin adalah “tomboy”.
[Mu’jam Lughatil-Fuqoha’, 1/417]
Dalam Syarah-nya,
al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa laknat dan celaan Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wasallam tadi ditujukan kepada orang yang sengaja meniru lawan
jenisnya. Bila hal tersebut merupakan sifat bawaan, maka ia diperintahkan untuk
berusaha meninggalkannya semaksimal mungkin secara bertahap. Bila ia tidak
berusaha meninggalkannya dan membiarkan dirinya seperti itu, maka dia berdosa,
terlebih bila ia menunjukkan sikap ridho dengan sifatnya tersebut.
Sebagian ulama menyatakan bahwa mukhannats alami tidak dianggap tercela atau berdosa. Maksudnya
ialah orang yang tidak bisa meninggalkan hal tersebut setelah ia berusaha
meninggalkannya. Sedangkan bila ia masih mampu meninggalkannya walaupun secara
bertahap, maka ia dianggap berdosa bila melakukannya tanpa udzur. [Fathul-Bâri, 10/332]
Dari hal tersebut, maka yang disebut mukhannats (banci) terbagi menjadi dua:
1. Banci alami. Yaitu pria yang ucapannya lembut dan tubuhnya
gemulai secara alami, dan ia dikenal bukan orang yang suka berbuat keji. Pria
seperti ini tidak dianggap fasik. Dia bukan orang yang dimaksud dalam
hadits-hadits sebagai objek celaan dan laknat. Namun, pria tersebut harus
berusaha meninggalkannya.
2. Banci disengaja. Yaitu pria yang dengan sengaja meniru-niru
wanita dalam hal berbicara, berperilaku, dan semacamnya. Perbuatan ini adalah
tercela dan maksiat serta menjadikan pelakunya tergolong fasik. [Pembagian ini
juga dipahami dari penjelasan sejumlah ulama dalam kitab-kitab mereka, seperti
Ibnu Abdil Barr dalam at-Tahmid,
22/273; Ibnu Qudamah dalam al-Mughni,
7/462; asy-Syirbini dalam Mughil Muhtâj,
4/430]
Pembagian tersebut juga berlaku bagi wanita dan waria. Oleh
karena itu, tindakan menyerupai lawan jenis bukan perkara sepele karena
termasuk dosa besar dan tercela.
Profesi Kebanci-bancian
Saat ini,
banyak sekali profesi yang para pekerjanya berperilaku sebagai banci, seperti
penata rias, desainer, pengamen, dan pelawak. Namun, para ulama salaf juga
menganggap bahwa profesi penyanyi yang banyak dilakoni pria normal adalah
profesi banci.
Al-Marwazi
meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa beliau berkata:
Penghasilan orang banci adalah kotor, sebab ia mendapatkan
uang lewat menyanyi, dan orang banci tidaklah menyanyikan syair-syair yang
mengajak untuk zuhud; namun ia
bernyanyi seputar cinta, asmara, atau meratapi kematian.
Dari riwayat ini, Imam Ahmad menganggap bahwa penghasilan
seorang banci sebagai sesuatu yang makruh.
[Talbis Iblis, 1/281; Majalah al-Fiqh
al-Islamy, 4/1923]
Yang
dimaksud “makruh” oleh Imam Ahmad adalah karâhah
tahrim, yaitu makruh yang berarti
haram, karena beliau mengaitkannya dengan hal-hal yang bersifat haram, seperti
bernyanyi seputar cinta, asmara, dan meratapi kematian. Jadi, menurut para
ulama salaf, seorang penyanyi adalah banci, dan penghasilan mereka adalah haram
karena diperoleh dengan cara yang haram. Apalagi jika mereka sengaja
berperilaku seperti wanita, sebagaimana yang sering dilakukan para pelawak.
Banci yang
bekerja sebagai penata rias (di salon dan sebagainya) dan melayani wanita yang
bukan mahramnya, hukumnya makruh jika
ia seorang banci alami karena hal ini justru membiarkan dan melestarikan sifat
bancinya, padahal ia diperintahkan untuk meninggalkannya. Namun bila ia
berpura-pura menjadi banci, maka pekerjaan ini hukumnya haram.
Banci yang
bekerja sebagai penjaja cinta dan akrab dengan tindak-tindak asusila, maka
hukumnya lebih diharamkan lagi karena mereka juga melakukan perbuatan kaum Nabi
Luth ‘alaihissalam yang sangat tercela dan berat hukumannya.
Beberapa Kebiasaan Banci
[1] Mewarnai Tangan dan Kaki
Imam Nawawi
(ulama besar Syafi’iyah) mengatakan:
Mewarnai kedua tangan dan kaki dengan pacar (hinâ’) dianjurkan bagi wanita yang
bersuami. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits yang masyhur dalam bab ini. Akan
tetapi ia haram bagi kaum pria, kecuali bila digunakan sebagai obat dan
semisalnya. Salah satu dalil yang menunjukkan keharamannya adalah sabda Nabi
shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam hadits shohih,
bahwa ALLAH melaknat kaum pria yang menyerupai wanita dan kaum wanita yang
menyerupai pria. Demikian pula dalam hadits shohih
dari Anas, bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam melarang pria menggunakan za’rafan. [HR al-Bukhori dan Muslim]
Larangan ini berkenaan dengan warnanya, bukan dengan
aromanya, sebab menggunakan sesuatu yang harum hukumnya sunnah bagi pria. Hinâ, dalam hal ini juga sama dengan za’rafan (saffron). [al-Majmu’, 1/294]
Imam
asy-Syaukani mengatakan:
Telah dijelaskan bahwa mewarnai tangan dan kaki dengan pacar
adalah perbuatan kaum wanita. Dan sebagaimana diketahui, hal ini dilakukan oleh
pria yang ingin menyerupai wanita. [As-Sailul-Jarrar, 4/126]
[2] Menabuh Gendang
Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyah mengatakan:
Karena menyanyi, menabuh rebana, dan bertepuk tangan adalah
perbuatan wanita; maka para Salaf menamakan kaum pria yang melakukannya sebagai
mukhannats (banci). Mereka menamakan
para penyanyi sebagai kaum banci, dan ini sangat populer dalam ucapan mereka.
[Majmu’ Fatwa, 11/565-566; I’anatut Thalibin, 6/121; Mughnil Muhtâj, 4/430;
al-Mughni, 12/40]
[3] Menyanyi
Ibnu
Taimiyah juga mengatakan:
Salah satu perbuatan muhdats
(baru, bid’ah) yang diadakan oleh
mereka (kaum sufi) ialah mendengarkan nyanyian para banci yang terkenal dengan
biduan orang-orang fasik dan pezina. Atau terkadang mereka mendengarkan
nyanyian bocah-bocah kecil berwajah tampan, atau kaum wanita jelita;
sebagaimana kebiasaan pengunjung tempat-tempat hiburan. [Al-Istiqamah, 1/306;
Majmu’ Fatwa, 11/565-566]
[4] Berjoget
Menurut
Madzhab Hanafi, orang yang menghalalkan berjoget adalah kafir. Yang dimaksud
joget di sini adalah melakukan gerakan miring ke sana ke mari yang disertai
mengbungkukkan dan mengangkat badan dengan cara tertentu, sebagaimana tarian
tarekat sufi. [Hâsyiyah Ibnu Abidin, 4/259]
Menurut
Madzhab Syafi’i, berjoget tidak diharamkan kecuali bila gerakannya lemah
gemulai seperti orang banci. [Al-Minhâj,
1/497, oleh an-Nawawi]
Ulama
Malikiyah dan Hanabilah menganggap hukum berjoget adalah makruh. [Hâsyiyah ash-Shawi, 5/217;
al-Inshaf, 6/89]
Ash-Shan’ani mengatakan:
Berjoget dan bertepuk
tangan adalah kebiasaan orang fasik dan bejat, bukan kebiasaan orang yang
mencintai ALLAh dan takut kepada-NYA. [Subulus-Salâm, 5/1]
[5] Memangkas Janggut dan Mencukurnya
Maksudnya
ialah janggut yang panjangnya kurang dari satu genggam. Ibnu Abidin mengatakan:
Adapun memangkas janggut yang panjangnya kurang dari satu
genggam, sebagaimana dilakukan sebagian orang Maghrib dan pria banci, maka
tidak ada seorang alimpun yang membolehkannya. [Hâsyiyah Ibnu Abidin, 2/418]
Beberapa Aturan Terkait Banci
[1] Menjadi Imam Shalat
Jika ia
banci alami, maka ia sah menjadi imam. Namun ia tetap diperintahkan untuk
berusaha meninggalkan sikap bancinya.
Jika ia
bukan banci alami, maka ia dianggap fasik. Dan orang fasik makruh untuk menjadi imam. Hal ini menurut ulama Hanafiyah,
Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan salah satu riwayat dalam Madzhab Maliki. [Al-Mabsuth, 1/111; Al-Umm,
1/166; Al-Majmu’, 4/287; Asy- Syarh al-Kabîr, 1/326 dan Al-Muhalla, 4/212]
Menurut ulama Hanabilah dan Malikiyah dalam riwayat lainnya,
orang fasik tidak sah menjadi imam. [Al-Inshaf,
2/252; Syarah Muntahal Iradat, 1/272; At-Tâj wal-Iklîl, 2/93] Hal ini didasarkan pada pendapat Imam az-Zuhri yang
mengatakan, “Menurut kami, tidak boleh shalat bermakmum di belakang pria banci,
kecuali dalam kondisi darurat yang tidak bisa dihindari lagi,” sebagaimana yang
dinukil oleh Imam al-Bukhori. [Shohih
al-Bukhori, 1/141]
[2] Memandang Wanita
Bolehkah
seorang banci memandang wanita? Mengenai perkara ini, terdapat dua kondisi:
1) Jika banci tersebut memiliki kecenderungan terhadap wanita,
maka tidak ada khilaf (dalam hal ini) bahwa dia diharamkan dan termasuk
perbuatan fasik. [Fathul-Qadîr, 2/222;
at-Tamhid, 22/273; Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan al-Mughni, 7/462]
2) Jika ia banci alami dan tidak memiliki kecenderungan terhadap
wanita, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
a. Ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Hanafiyah memberi rukhsah (keringanan) bagianya untuk
berada di tengah kaum wanita dan memandang mereka. Dalilnya ialah firman ALLAH
Ta’âla yang menyatakan siapa saja boleh melihat wanita dan siapa-siapa saja
yang kaum wanita boleh berhias di hadapannya, yakni “atau pelayan-pelayan pria
yang tidak bersyahwat (terhadap wanita) … [Penggalan dari ayat 31 Surat an-Nûr; At-Tamhid,
22/273 dan al-Mughni, 7/462]
b. Ulama Syafi’iyah dan mayoritas Hanafiyah berpendapat bahwa
meski pria banci tidak bersyahwat terhadap wanita, dia tetap tidak boleh
memandang wanita. Dalam hal ini, dia tetap dihukumi sebagai pria normal. [Mughnil-Muhtâj, 3/128 dan
al-Mabsuth, 12/382]
Dalilnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah
berikut:
Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah
bersamanya dan saat itu di rumahnya terdapat seorang banci, maka si banci
berkata kepada Abdullah saudara Ummu Salamah, “Hai Abdullah, jika besok ALLAH
menaklukkan kota Thaif bagi kalian, maka akan kutunjukkan kepadamu putri
Ghailan yang dari depan menampakkan empat lipatan sedangkan dari belakang
terlihat delapan.”
Maka Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jangan sekali-kali mereka (orang-orang banci) masuk ke tempat kalian (kaum
wanita).” [HR al-Bukhori dalam Shohih-nya no. 5887. Yang dimaksud
lipatan di sini adalah lipatan perut yang berjumlah empat bila dilihat dari
depan, sedangkan dari belakang ujung-ujungnya di kedua sisi berjumlah delapan.]
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori tersebut
menunjukkan bahwa banci yang dilarang untuk masuk ke tempat wanita adalah banci yang memiliki
kecenderungan (bersyahwat) terhadap wanita, sebab ia bisa menceritakan
keindahan tubuh wanita yang pernah dilihatnya kepada pria. Dikhawatirkan ia
akan membongkar aurat wanita muslimah bila dibiarkan keluar masuk tempat
mereka. Sedangkan banci alami yang sama sekali tidak bersyahwat terhadap wanita
tidak akan melakukan hal tersebut. Pendapat yang râjih adalah pendapat yang sesuai dengan zhahir Al-Quran.
[3] Kesaksian Banci
Menurut ulama
Hanafiyah, banci yang tertolak kesaksiannya adalah yang sengaja berbicara
lembah lembut dan kemayu seperti wanita. Sedangkan bila ia seperti karena alami
dan dikenal bukan sebagai orang bejat, maka kesaksiannya masih diterima. [Fathul-Qadir, 17/130]
Menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, menyerupai wanita (dengan sengaja) adalah haram
yang menjadikan kesaksian orang tersebut tertolak. [Al-Muhadzdzab, 2/325 dan
al-Mughni, 12/40]
Ulama
Malikiyah menyatakan bahwa yang tertolak kesaksiannya ialah orang yang tidak
mempunyai rasa malu, dan yang termasuk sikap ini adalah sikap menjadi banci. [Hâsyiyah ad-Dasuqi, 4/166]
Kesimpulannya
adalah empat madzhab sepakat bahwa perincian status kesaksian orang banci sama
seperti yang dijelaskan oleh ulama Hanafiyah.
[4] Sanksi Bagi Banci
Pria yang
menjadi banci tidak lepas dari dua kondisi:
1) Pria yang sengaja (bertingkah) menjadi banci tanpa terjerumus
dalam perbuatan keji. Hal ini tergolong maksiat yang tidak ada had ataupun kaffaratnya. Sanksi yang pantas diterimanya bersifat ta’zir (ditentukan berdasarkan
pertimbangan hakim), sesuai dengan kondisi dan perilaku sang pelaku.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah menjatuhkan
sanksi kepada banci dengan mengasingkannya atau mengusirnya dari rumah. Hal itu
juga dilakukan oleh para Sahabat sepeninggal beliau.
Ta’zir yang diberlakukan:
a. Penjara. Menurut Madzhab Hanafi, pria yang pekerjaannya
menyanyi, banci, dan meratapi kematian pantas dihukum penjara sampai mereka
bertaubat. [Al-Mabsuth, 27/205]
b. Pengasingan.
Menurut Madzhab Syafi’i dan Hambali, seorang banci hendaklah diasingkan walaupun
perbuatannya tergolong tidak maksiat. Pengasingan dilakukan untuk mencari
kemaslahatan. [Mughnil
Muhtâj, 4/192; Al-Fatawa al-Kubra, 5/529]
Imam Ibnu al-Qoyyim
mengatakan:
Termasuk siasat syar’i
yang dinyatakan oleh Imam Ahmad, ialah hendaklah seorang banci itu diasingkan;
sebab orang banci hanya akan menimbulkan kerusakan dan pelecehan atas dirinya.
Penguasa berhak mengasingkannya ke negeri lain yang di sana ia terbebas dari
gangguan orang-orang. Bahkan jika dikhawatirkan keselamatannya, orang banci tadi
boleh dipenjara. [Bada’i al Fawa-id, 3/694]
2) Banci yang membiarkan
dirinya dicabuli dan disodomi
Orang banci seperti
sanksinya diperdebatkan oleh para ulama. Banyak fuqaha’ berpendapat ia pantas mendapat hukuman seperti pezina.
Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat hukumannya adalah ta’zir yang bisa sampai ke tingkat eksekusi. Para Sahabat juga
berbeda pendapat tentang cara menghukumnya. [Al-Mabsuth, 11/78; Al-Fawakih
ad-Dawani, 2/209; Raudhatut-Thalibin, 10/90]
Majelis Ulama Indonesia pun telah memfatwakan bahwa
waria adalah laki-laki dan tidak dapat dipandang sebagai kelompok (jenis
kelamin) tersendiri, dan segala perilaku waria yang menyimpang adalah haram dan
harus diupayakan untuk dikembalikan pada kodrat semula.
Thanks for reading
^_^
Sumber:
almanhaj [disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013]
P.S.
Silakan kalau mau copy-paste,
dan mohon sertakan link-back ke blog
ini. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar