Senin, 10 Juni 2013

BISA KENA TIPU

Karena kesulitan uang, Abu Nawas memutuskan untuk menjual keledai satu-satunya yang ia miliki yang biasa dia gunakan sebagai kendaraan. Dia membawa keledai itu ke pasar. Dia tidak tahu bahwa ada gerombolan penipu yang mengintainya sepanjang jalan menuju pasar. Penipu yang berjumlah empat orang itu mulai melaksanakan rencana untuk memperdaya Abu Nawas.

Ketika Abu Nawas beristirahat di bawah pohon, salah satu dari penipu mendekat dan berkata, “Apakah engkau akan menjual kambingmu?”

Abu Nawas tentu saja terperanjat mendapat pertanyaan seperti itu. Dia kemudian membalas, “Ini bukan kambing.”
“Kalau bukan kambing, lalu apa?” timpal si penipu.
“Keledai.”
“Kalau engkau yakin itu keledai, jual saja ke pasar dan tanyakan pada mereka.”

Si penipu berlalu. Abu Nawas tidak terpengaruh dan melanjutkan perjalanan. Ketika dia sedang menunggangi keledainya, datang penipu ke dua dan berkata, “Mengapa kau menunggang kambing?”
“Ini bukan kambing, tapi keledai.”
“Kalau itu keledai, aku tidak akan bertanya seperti tadi. Dasar orang aneh. Kambing kok dibilang keledai.”
“Kalau ini kambing, aku tidak akan menungganginya.”
“Kalau kau tidak percaya, pergilah ke pasar dan tanyakan pada orang-orang di sana.”

Penipu ke dua pergi. Abu Nawas tetap tidak terpengaruh dan melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba datang penipu ke empat dan berkata, “Hai Abu Nawas, akan kau bawa ke mana kambing itu?”

Kali ini, Abu Nawas diam saja. Dia mulai ragu, karena sudah tiga orang yang mengatakan hewan yang dibawanya adalah kambing.

Si penipu menyadari kegelisahan calon korbannya, “Sudahlah, biarpun kau bersikeras hewan itu adalah keledai, nyatanya itu adalah kambing… kambing… kambing…”

Abu Nawas kembali beristirahat di bawah pohon. Datanglah penipu ke empat. Ia duduk di samping Abu Nawas dan mengajaknya berbincang-bincang, “Bagus sekali kambingmu ini.”
“Kau juga yakin ini kambing?”
“Lho, ya jelas ini kambing. Kalau boleh aku ingin membelinya.”
“Berapa kau mau membayarnya?”
“Tiga dirham.”

Abu Nawas setuju. Setelah menerima uang dari si penipu, dia langsung pulang. Setibanya di rumah, istrinya memarahinya, “Jadi keledai itu hanya kau jual seharga tiga dirham karena mereka mengatakan bahwa keledai itu kambing?”

Abu Nawas tidak menjawab dan hanya mendengarkan saja amarah istrinya. Dia baru menyadari bahwa dia sudah kena tipu.

Abu Nawas kemudian merencanakan sesuatu. Dia pergi ke hutan mencari sebatang kayu untuk dijadikan tongkat yang nantinya akan digunakan untuk menghasilkan uang. Rencana Abu Nawas ternyata berjalan lancar. Orang-orang membicarakan keajaiban tongkatnya. Berita ini juga sampai ke telinga para penipu tadi dan membuat mereka tertarik. Mereka bahkan melihat sendiri keajaiban tongkat tersebut. Ketika Abu Nawas makan di warung atau membeli barang, ia pergi tanpa membayar dan hanya mengacungkan tongkatnya saja. Para penipu berpikir untuk memiliki tongkat itu untuk membuat mereka kaya raya.

Mereka mendekati Abu Nawas dan berkata, “Apakah tongkatmu akan dijual?”
“Tidak,” jawab Abu Nawas.
“Tapi kami bersedia membeli dengan harga yang sangat tinggi.”
“Berapa?” tanya Abu Nawas pura-pura tertarik.
“100 dinar uang emas.”
“Tapi tongkat ini adalah tongkat wasiat satu-satunya yang aku punya.”
“Dengan uang 100 dinar, engkau sudah bisa hidup enak.”

Abu Nawas terdiam sejenak dan menampakkan wajah keberatannya, “Baiklah kalau begitu.”

Setelah mengantongi 100 dinar, Abu Nawas pulang. Para penipu itu kemudian mencoba kemampuan tongkat tersebut di warung makan terdekat. Mereka makan dengan lahap. Setelah selesai, mereka tidak membayar dan hanya mengacungkan tongkat. Pemilik warung menjadi marah.

“Apa maksudmu mengacungkan tongkat itu padaku?” kata sang pemilik warung.
“Bukankah Abu Nawas juga mengacungkan tongkat ini dan engkau membebaskannya?” timpal si penipu.
“Benar, tapi kau harus tahu bahwa Abu Nawas menitipkan sejumlah uang padaku sebelum makan di sini.”

Mereka berempat terperanjat dan baru menyadari mereka telah mengalami rugi besar dengan menipu Abu Nawas.


Thanks for reading  ^_^


Referensi:
Buku “Kisah Penggeli Hati Abu Nawas”(hal. 81), 2005, karya MB. Rahimsyah AR.

P.S.

Silakan kalau mau copy-paste, dan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.



Related Posts:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar