بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
Mengubah Uban
untuk Menyelisihi Ahlul-alkitab
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka,
maka selisihilah (berbeda dari) mereka. [HR. Bukhori dan Muslim]
Al-Qodhi ‘Iyadh
mengatakan:
“Para ulama
salaf yakni sahabat dan tabi’in
berselisih pendapat mengenai masalah uban. Sebagian mereka mengatakan bahwa
lebih utama membiarkan uban (daripada mewarnainya) karena terdapat hadits dari
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengenai larangan mengubah uban.
[Namun, Syaikh Al-albani dalam Tamamul
Minnah-nya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits mungkar atau dho’if.]
Sebagian mereka
berpendapat bahwa lebih utama mengubah uban (daripada membiarkannya). Sehingga
mereka mengubah uban karena terdapat hadits mengenai hal ini.” [Nailul Author, 1/144, Asy-syamilah]
Mengubah Uban
dengan Pacar dan Inai
Dari Abu Dzar,
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban
adalah hinâ’ (pacar) dan katm (inai). [HR Abu Daud, Tirmidzi,
Ibnu Majah, dan An-nasa’i. Syaikh Al-albani dalam As-silsilah asy-Shohihah mengatakan bahwa hadits ini shohih.]
Annas bin Malik meriwayatkan:
Nabi shallallâhu
‘alaihi wasallam tiba (di Madinah) dan tidak ada satupun dari sahabat beliau
yang paling banyak ubannya selain Abu Bakar. Maka kemudian dia mengecatnya
dengan daun inai dan katm. [HR al-Bukhori
no. 3627]
Meski begitu, bahan lain yang juga bisa digunakan adalah al-wars (biji yang bisa menghasilkan
warna merah kekuning-kuningan) dan za’faron.
Sebagian sahabat ada yang mewarnai rambut mereka dengan dua pewarna ini.
Abu Malik asy-Ja’i, dari ayahnya, dia berkata, “Dulu kami menyemir uban
kami bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan wars dan za’faron.” [HR Ahmad dan al-Bazzar. Perawinya adalah perawi kitab shohih selain Bakr bin Isa, namun dia
adalah tsiqoh (terpercaya).]
Al-Hakam bin ‘Amr mengatakan:
Aku dan
saudaraku Rofi’ pernah menemui Amirul Mu’minin Umar (bin Khattab). Aku sendiri
menyemir ubanku dengan hinâ’.
Saudaraku menyemirnya dengan shufroh
(yang menghasilkan warna kuning). Umar lalu berkata, “Inilah semiran Islam.”
Umar pun berkata pada saudaraku Rofi’, “Ini adalah semiran iman.” [HR Ahmad. Di
dalamnya terdapat Abdurrahman bin Habib. Ibnu Ma’in mentsiqohkannya. Ahmad mendho’ifkannya.
Namun perawi lainnya adalah perawi tsiqoh.]
Diharamkan
Menyemir Uban dengan Warna Hitam
Jabir mengatakan:
Pada hari
penaklukkan Mekkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala
dan janggutnya telah memutih (seperti kapas, berarti telah beruban). Lalu
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ubahlah uban ini dengan
sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.” [HR Muslim]
An-Nawawi (ulama besar Syafi’iyah) membawakan hadits ini dalam bab
“Dianjurkannya menyemir uban dengan shufroh
(kuning), hamroh (merah), dan
diharamkannya menggunakan warna hitam”. Ketika menjelaskan hadits tersebut,
an-Nawawi mengatakan:
Menurut madzhab
kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun wanita yaitu
dengan shufroh atau hamroh dan diharamkan menyemir uban
dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan
bahwa hukumnya adalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang
menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wasallam, “Hindarilah warna hitam.” Inilah pendapat dalam madzhab kami.
Ancaman bagi orang yang menyemir uban dengan warna hitam ditegaskan dari
Ibnu Abbas yang berkata bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Pada Akhir Zaman nanti akan muncul suatu kaum yang bersemir dengan warna
hitam seperti tembolok merpati. Mereka itu tidak akan mencium bau surga. [HR
Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Hibban dalam shohih-nya,
dan al-Hakim. Al-Hakim menyatakan hadits ini shohih. Syaikh al-Albani dalam Shohih
at-Targhib wa at-Tarhib menyatakan hadits ini shohih.]
Karena disebutkan tidak mencium bau surga, berarti perbuatan ini termasuk
dosa besar. [Al-Liqo’ al-Bab al-Maftuh,
60/23, 243/27]
Inai sebenarnya menghasilkan warna hitam, sehingga inai sebaiknya tidak
dipakai sendiri tapi dicampur dengan hinâ’,
sehingga warna yang dihasilkan adalah hitam kekuning-kuningan.
Selain ke empat bahan tadi, bahan sintetik juga boleh digunakan selama
tujuannya tercapai yakni mengubah warna uban selain dengan warna hitam. Namun,
jika pewarna tersebut tidak menyerap ke rambut dan malah membentuk lapisan
tersendiri pada kulit rambut, pewarna seperti ini harus dihindari karena dapat
menyebabkan air tidak masuk ke kulit rambut saat berwudhu sehingga wudhu
menjadi tidak sah. Wallâhu ‘alam.
Mewarnai Uban
untuk Membuat Penampilan Menarik
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsamin menyatakan bahwa menyemir janggut
dan rambut dengan warna hitam adalah haram karena hadits Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wasallam tadi. Beliau juga menyatakan bahwa menyemir uban untuk
mempercantik diri (yang biasanya memang itu tujuannya) hanya akan
membuang-buang waktu dan harta. [Liqo’
al-Bab al-Maftuh, 1/5, Mawqi’
asy-Syabkah al-Islamiyah]
Jika uban tersebut sudah tampak pada orang yang masih muda, Syaikh
al-Utsaimin menyatakan bahwa pewarnaan dengan warna hitam adalah termasuk tadlis (mengelabui). Jika ingin disemir,
maka gunakanlah warna selain hitam. Orang tersebut juga bisa mencampur hinâ’ dan katm untuk menyemir rambutnya.
Mewarnai Rambut Hitam
(Alami)
Syaikh al-Utsaimin menyatakan:
Hukum menyemir rambut
hitam wanita menjadi warna lain dibangun di atas kaedah penting. Kaidah tersebut
yaitu hukum asal (halal dan mubah). Inilah kaidah asal yang harus diperhatikan.
Misalkan seseorang mengenakan pakaian yang dia suka atau dia suka berhias
sesuai kemauannya, maka syari’at tidak melarangnya. Menyemir misalnya, hal ini
terlarang secara syar’i karena terdapat hadits, “Ubahlah uban, namun jauhilah warna
hitam”. Jika seseorang mengubah uban dengan warna selain hitam, maka inilah
yang diperintahkan. Bahkan, perkara ini (mewarnai rambut hitam) termasuk dalam
perkara yang didiamkan (tidak dilarang dan tidak diperintahkan dalam syari’at –
mubah).
Dari hal tersebut, kita bisa menarik tiga simpulan:
1.
Warna yang boleh digunakan adalah warna yang juga untuk mengubah uban.
2.
Warna yang dilarang adalah warna yang tidak boleh digunakan untuk
mewarnai uban.
3.
Warna yang didiamkan (tidak dikomentari apa-apa). Setiap perkara yang
didiamkan, maka hukum asalnya adalah halal.
Berdasarkan hal ini, maka bisa dianggap hukum mewarnai rambut untuk
wanita (selain dengan warna hitam) adalah halal. Namun, jika tujuan pewarnaan
itu adalah untuk menyerupai orang-orang kafir, maka hukumnya menjadi tidak
diperbolehkan. Hal ini sudah termasuk menjadi tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, dan hukumnya haram. Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari
mereka. [HR Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] menyatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus.]
Jika kaum Muslim ber-tasyabbuh,
maka boleh jadi mereka (kaum kafir) akan merasa senang dan bangga dengan
kekafiran mereka dan senang karena orang Islam telah mengikuti mereka. Seorang Muslim
yang sering meniru tingkah laku atau gaya orang kafir akan selalu menganggap
dirinya lebih rendah daripada orang kafir sehingga dia akan selalu mengikuti
jejak orang kafir tersebut.
Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan mengatakan:
Adapun mengenai
seorang wanita yang mewarnai rambut kepalanya yang masih berwarna hitam menjadi
warna lainnya, maka menurutku hal itu tidak diperbolehkan. Karena tidak ada
alasan bagi wanita tersebut untuk mengubahnya. Karena warna hitam pada rambut
sudah menunjukkan keindahan dan bukanlah sesuatu yang jelek (aib). Mewarnai rambut
semacam ini juga termasuk tasyabbuh.
[Tanbihât ‘ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu’minaat,
hal. 14, Darul ‘Aqidah]
Mewarnai rambut yang tidak beruban memang tidak
disyariatkan, karena hadits-hadits yang menerangkan pewarnaan rambut
mengkhusukan pada rambut yang telah beruban.
Annas bin Malik pernah ditanya mengenai apakah rambut Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wasallam dicelup atau tidak, Annas kemudian menjawab, “Seandainya aku mau
menghitung jumlah rambut putih yang berada di antara jumlah rambut hitam
beliau, tentu aku bisa menghitungnya.”
Dia juga
kemudian berkata, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak mencelupnya. Adapun
Abu Bakar dan Umar, maka sungguh keduanya mencelup rambut mereka dengan inai
dan sejenisnya.” [HR Muslim no. 4320]
Anas berkata, “Aku melihat rambut Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wasallam disemir.”
Abu Hurairah
pernah ditanya apakah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menyemir
rambutnya, ia menjawab, “Ya.” [Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Syama’il Al Muhammadiyah hlm. 26-27 Daar Ibn Hazm Beirut, 1418 H]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
Sebagian ulama ada yang memberikan keringanan (menyemir
rambut hitam) ketika berjihad. Sebagian lagi memberikan keringanan secara
mutlak. Yang lebih utama adalah hukumnya makruh.
Bahkan Imam Nawawi menganggapnya makruh
yang lebih dekat dengan haram. Sebagian ulama salaf memberikan keringanan,
misalnya Sa’d bin Abi Waqqash, Uqbah bin Amir, al-Hasan, al-Husain, Jarir, dan
lainnya. Inilah yang dipilih oleh Ibnu Abi Ashim. Mereka memperbolehkan untuk
wanita tapi tidak untuk pria. Inilah yang dipilih oleh al-Hulaimi. Ibnu Abi
Hashim memahami dari hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam “Jauhi warna hitam”, karena
menyemir dengan warna hitam merupakan tradisi mereka. [Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bâri,
(10/354-355)]
Imam Ibnu Qoyyim berkata:
Larangan menyemir rambut dengan warna hitam, bila
dengan warna hitam pekat. Apabila tidak hitam pekat seperti mencampur antara katm (semir hitam) dengan hinâ’ (semir merah), maka tidak mengapa,
karena akan membuat rambut merah kehitam-hitaman.
Menyemir dengan warna hitam dengan tujuan tadlis juga dilarang, seperti wanita yang sudah tua menyemir
rambutnya agak menarik bagi pria yang meminangnya, atau seorang pria menyemir
ubannya untuk memikat wanita yang ingin dinikahinya. Hal semacam ini termasuk tadlis dan dilarang. Namun bila tidak
ada unsur tadlis, hal ini
diperbolehkan. Ada riwayat shohih
yang menyatakan bahwa al-Hasan dan al-Husain menyemir rambut mereka dengan
warna hitam. [Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ Tirmidzi,
Kairo, Al Madani, Tanpa tahun, Juz 5, hlm. 442]
Dari
hal tersebut, kita bisa tarik kesimpulan bahwa menyemir rambut diperbolehkan
jika ada hajat seperti sudah beruban (dan tidak dengan warna hitam). Namun,
bila masih berwarna hitam dan ingin diubah warnanya, maka hal ini sebaiknya
dijauhi karena biasanya dilakukan dalam rangka tasyabbuh terhadap orang kafir dan kaum fasik, semisal meniru
selebriti. Apalagi, banyak orang yang bagus keislamannya tidak melakukan hal
ini. Namun, bila dicampur dengan warna lain (tidak murni hitam) dan tidak ada
unsur pembohongan dan pengelabuan (tadlis,
agar terlihat lebih muda dan semacamnya), maka hal ini diperbolehkan. Hukum ini
berlaku bagi pria dan wanita.
Imam Ishaq berkata, “Wanita dibolehkan menyemir dengan warna hitam untuk
mempercantik dirinya untuk suaminya.” [Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz 1, hlm. 92]
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah, beliau berkata:
Isteri Utsman bin Mazh’un, dulunya menyemir
(rambutnya) dan memakai wewangian kemudian meninggalkannya. Ia masuk menemui
Aisyah dan ditanya, “Apakah Anda bersama suami atau tidak?”
Ia menjawab, “Bersama suami, tapi Utsman tidak
menyukai dunia dan wanita.”
Aisyah berkata, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wasallam masuk menemuiku, kemudian aku ceritakan semuanya.”
Beliau (Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam) menemui Utsman dan
bersabda, “Wahai Utsman, apakah Anda beriman sebagaimana kami beriman?”
Utsman menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.”
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Kenapa Anda tidak menjadikan kami sebagai teladan?”
Asy-Syaukani menjelaskan hadits ini dengan berkata:
Pengingkaran Aisyah terhadap isteri Utsman yang
meninggalkan semir dan parfum menunjukkan, bahwa wanita yang memiliki suami
lebih baik baginya untuk berhias untuk suaminya dengan menyemir rambutnya dan
memakai wewangian. [Asy-Syaukani, Nailul
Author, Juz 6, hlm. 193-194]
Wallâhu ‘alam.
Thanks for reading ^_^
Sumber:
P.S.
Silakan kalau mau copy-paste, dan mohon sertakan link-back ke blog ini.
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar