بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
Badai di Bukhara
Berita tentang akan datangnya
Muhammad bin Ismail telah tersebar di Bukhara. Penduduk Bukhara melakukan
berbagai persiapan untuk menyambut beliau di pintu kota. Ahmad bin Mansur
asy-Syirazi menceritakan bahwa dia mendengar dari berbagai orang yang menyaksikan
peristiwa penyambutan tersebut bahwa masyarakat membangun gapura penyambutan di
lokasi yang berjarak 1 farsakh (± 5
km) dari kota Bukhara. Ketika al-Bukhori sudah tiba di gapura tersebut, seluruh
penduduk menyambutnya dengan penuh suka cita. Disebutkan bahkan para penduduk
melemparkan kepingan emas dan perak ke jalan yang akan diinjak oleh al-Bukhori.
Mereka berdiri di kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berlomba
memberikan buah anggur istimewa kepada sang imam Ahlul-hadits tersebut.
Beberapa hari setelah itu, para
ulama fiqih mulai resah karena telah terjadi beberapa perubahan cara beribadah
penduduk Bukhara. Bukhara adalah kota yang memberlakukan Madzhab Hanafi,
sedangkan al-Bukhori mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian Ahlul-hadits yang tidak terikat dengan
madzhab tertentu. Para penduduk tampak mengamalkan sikap-sikap yang diajarkan Ahlul-hadits, bukan pengamalan Madzhab
Hanafi; orang yang beriqamat untuk shalat jamaah tidak lagi menggenapkan bacaan
iqamat seperti adzan, namun beriqamat secara satu-satu sebagaimana yang
terdapat dalam hadits-hadits shohih;
ketika bertakbir dalam shalat awalnya tidak mengangkat tangan sebagaimana dalam
Madzhab Hanafi, namun mereka kemudian bertakbir dengan mengangkat tangan.
Perubahan cara beribadah seperti itu membuat
resah para ulama fiqih Bukhara. Salah seorang dari mereka, Huraits bin Abi
Wuraiqa’, mengatakan tentang Imam al-Bukhori, “Orang ini pengacau. Dia akan
merusak kehidupan keagamaan di kota ini. Muhammad bin Yahya telah mengusirnya
dari Naisabur, padahal dia imam Ahlul-hadits.”
Huraits dan kawan-kawan kemudian
mulai berusaha memengaruhi gubernur Bukhara agar mengusir Imam al-Bukhori. Sang
gubernur bernama Khalid bin Ahad as-Sadusi adz-Dzuhli.
Gubernur tersebut pernah meminta
al-Bukhori untuk datang ke istananya untuk mengajarkan kitab At-Tarikh dan Shohih al-Bukhori kepada anak-anaknya. Namun, Imam al-Bukhori
menolaknya dengan mengatakan:
“Saya tidak
akan menghinakan ilmu ini dan saya tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke
pintu. Oleh karena itu bila Anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya Anda
datang saja ke masjid saya atau ke rumah saya. Bila sikap saya yang demikian
ini tidak menyenangkan Anda, Anda adalah penguasa. Silakan Anda melarang saya
membuka majelis ilmu ini agar saya punya alasan di sisi ALLAH di Hari Kiamat
bahwa saya tidaklah menyembunyikan ilmu (tetapi dilarang oleh penguasa untuk
menyampaikannya).”
Gubernus Khalid sangat kecewa dengan
sikap al-Bukhori. Hal ini membuat hasutan Huraits dan kawan-kawannya berhasil
membidik sang gubernur. Mereka akhirnya sepakat untuk merencanakan mengusir
al-Bukhori dari Bukhara. Terlebih lagi, telah datang surat dari Muhammad bin
Yahya adz-Dzuhli dari Naisabur kepada sang gubernur yang memberitakan bahwa
al-Bukhori telah menampakkan sikap menyelisihi sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, rencana
pengusiran telah matang.
Upaya pengusiran diawali dengan
dibacakannya surat Muhammad bin Yahya di hadapan penduduk Bukhara. Surat
tersebut tentu saja yang isinya bahwa al-Bukhari adalah Ahlul-bid’ah dengan mengatakan bahwa “lafadh-ku ketika membaca Al-Quran adalah makhluk.” Namun ternyata, hal
tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap penduduk Bukhara dan mereka masih
terus memuliakan beliau.
Namun demikian, al-Bukhori tetap
diusir secara paksa dan membuatnya sangat kecewa. Sebelum keluar dari Bukhara,
beliau sempat mendoakan celaka atas orang-orang yang terlibat langsung pengusirannya.
Ibrahim bin Ma’qil an-Nasafi mengatakan, “Aku melihat Muhammad bin Ismail pada
hari beliau diusir dari Bukhara. Aku mendekat padanya dan aku bertanya, ‘Wahai
Abu Abdillah, apa perasaanmu dengan pengusiran ini?’ Beliau menjawab, ‘Aku
tidak peduli selama agamaku selamat.’”
Imam Bukhori meninggalkan Bukhara
dengan penuh kekecawaan dan dilepas penduduk Bukhara dengan penuh kepiluan.
Beliau berjalan menuju Desa Bikanda dan kemudian berjalan lagi ke Desa Khartanka.
Keduanya merupakan desa di negeri Samarkand. Di desa terakhir inilah beliau
jatuh sakit dan dirawat di salah seorang kerabatnya yang merupakan penduduk
setempat.
Akhir Hayat Imam Al-Bukhori
Di usianya yang ke-62, dengan tubuh
yang kurus kering, beliau berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada ALLAH
TA’ĀLA: “Ya ALLAH, Bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah ya ALLAH. ENGKAU
panggil aku ke haribaan-MU.” Sesaat setelah itu, beliau menghembuskan nafas
terakhir. Peristiwa itu terjadi pada malam Sabtu di malam Hari Raya Idul Fitri
1 Syawal 256 H.
Sebelum wafat, Imam Bukhori
berwasiat agar jenazahnya dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (kain pengikat) dan tanpa baju.
Beliau juga berwasiat agar kain kafannya berwarna putih. Semua wasiat beliau
dijalankan dengan baik. Beliau dikebumikan di Desa Khartanka pada 1 Syawal 256
H setelah shalat Dzuhur. Sesaat setelah pemakaman, wangi harum tersebar dari
kuburnya dan terus semerbak hingga berhari-hari.
Pembersihan Nama Baik Al-Bukhori
Gubernur Bukhara, Khalid bin Ahmad
adz-Dzuhli menuai hasil kedzalimannya dengan datangnya keputusan pencopotan
jabatannya dari Khalifah al-Muktamad karena tuduhan ikut terlibat pemberontakan
Ya’qub bin al-Laits terhadap Khilafah ath-Thahir. Sang mantan gubernur
dipenjara di Baghdad hingga meninggal pada 269 H. Kehancuranpun menimpa Huraits
bin Abi Waraqa’. Anak-anaknya berbuat tercela. Para penentang Imam al-Bukhori
kemudian menyatakan penyesalan dan kesedihan atas wafatnya beliau dan sebagian
menyempatkan mendatangi kuburnya.
Sejak itu, orang-orang mulai berani
menyebarkan pembelaan terhadap al-Bukhori dari segala fitnah. Namun, pembelaan
tersebut tenggelam dalam hiruk-pikuk fitnah terhadap beliau.
Muhammad bin Nasir al-Marwazi
mempersaksikan bahwa Imam al-Bukhori menyatakan:
“Barangsiapa
yang mengatakan bahwa aku telah berpendapat bahwa lafadh-ku ketika membaca Al-Quran adalah makhluk, maka sungguh dia
adalah pendusta, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan demikian.”
Abu Amr Ahmad bin Nasir an-Naisaburi
al-Khaffaf mempersaksikan bahwa Imam al-Bukhori telah berkata padanya:
“Wahai Abu
Amir, hafal baik-baik apa yang aku ucapkan: Siapa yang menyangka bahwa aku
berpendapat bahwa lafadh-ku tentang
Al-Quran adalah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis, Ar-Roy,
Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Mekkah, atau Madinah, maka
ketahuilah bahwa yang menyangka aku demikian itu adalah pendusta. Karena
sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja aku mengatakan:
segenap perbuatan hamba ALLAH itu adalah makhluk.”
Yahya bin Said berkata bahwa Abu
Abdillah al-Bukhori telah berkata:
“Gerak-gerik
hamba ALLAH, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah
makhluk. Adapun Al-Quran yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang
ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Quran,yang dihafal di hati para
penghafalnya, maka semua itu adalah kalamullah
dan bukan makhluk.”
Ghunjar membawakan riwayat yang sanad-nya sampai ke al-Fibabri, dia
berkata bahwa al-Bukhori telah mengatakan:
“Al-Quran kalamullah dan bukan makhluk.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Quran itu makhluk maka sungguh dia telah
kafir.”
Al-Bukhori
bahkan menulis kitab khusus tentang perkara ini dengan judul Khalqu Af’alil Ibad yang isinya
menjelaskan pendirian beliau dalam perkara ini dengan gamblang dan jelas, serta
lengkap dan ilmiah.
Gubernur Bukhara, Khalid bin Ahmad
dan ulama Huraits bin Abi Waraqa’ menyimpan ketidaksenangan kepada al-Imam
Muhammad bin Ismail al-Bukhori dan berencana mengusirnya dari Bukhara. Ketika
sedang mencari-cari alasan pembenaran pengusiran tersebut, datanglah surat dari
Muhammad bin Yahya. Tanpa penyelidikan dan penelitian, surat ini dengan segera
dibacakan di hadapan penduduk Bukhara dan diputuskanlah pengusiran Imam
al-Bukhori sehingga kesan yang diharapkan adalah bahwa pengusiran tersebut
karena semata-mata alasan agama dan bukan karena alasan lainnya.
Pujian Terhadap
Al-Bukhori
Al-Imam al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf
bin al-Mizzi dalam kitabnya, Tahdzibul
Kamal fi Asma’ir Rijal, meriwayatkan beberapa pujian para Ahlul-hadits dan sanjungan mereka kepada
Muhammad bin Ismail al-Bukhori. Salah satu riwayat tersebut adalah pernyataan
al-Imam Mahmud bin An-Nadhir Abu Sahl asy-Syafi’i:
“Aku masuk
ke berbagai negeri yaitu Basrah, Syam, Hijaz dan Kufah. Aku melihat di berbagai
negeri tersebut bahwa para ulamanya bila menyebutkan nama Muhammad bin Ismail
al-Bukhori, mereka selalu lebih mengutamakannya daripada diri mereka sendiri.”
Al-Imam Muhammad bin Abi Hatim
meriwayatkan bahwa Hasyid bin Ismail dan seorang lagi (tidak disebutkan
namanya) menceritakan:
“Para ulama Ahlul-hadits di Basrah di zaman
al-Bukhori masih hidup merasa lebih rendah pengetahuannya dalam hadits
dibanding al-Imam al-Bukhori. Padahal beliau ini masih muda belia. Sehingga
suatu ketika pernah terjadi saat beliau berjalan dipaksa duduk di pinggir jalan
dan dikerumuni ribuan orang yang menanyakan kepada beliau berbagai masalah
agama. Padahal di wajah beliau masih belum tumbuh rambut pada dagunya (belum
berjanggut) dan juga belum tumbuh kumis.”
At-Tirmidzi berkata, “Aku tidak
pernah melihat orang yang dalam hal illat
dan rijal, lebih mengerti daripada
al-Bukhori.”
Ibnu Khuzaimah berkata, “Aku tidak
melihat di bawah permukaan langit seseorang yang lebih tahu tentang hadits
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam daripada Muhammad bin Ismail
al-Bukhori.”
Imam Muslim bin al-Hajjaj pernah
mendatangi Imam al-Bukhori lalu mencium antara kedua matanya dan berkata,
“Biarkan aku mencium kedua kakimu, wahai guru para guru, pemimpin para Ahlul-hadits dan dokter penyakit
hadits.”
Abu Nu’im dan Ahmad bin Ahmad
berkata, “Al-Bukhori adalah faqih
(ahli hukum) dari ummat ini.”
Abu Muhammad Abdullah bin
Abdurrahman ad-Darimy berkata, “Muhammad bin Ismail orang yang tercakap dalam
bidang hukum dari antara kai dan lebih banyak mencari hadits.”
Kitab-Kitab Al-Bukhori
Al-Jami’us Shohih al-Musnad min
Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi, atau Al-Jami’
ash-Shohih, merupakan kitab paling shohih
setelah Al-Quran. Hadits yang Imam Bukhori dengar sendiri dari gurunya
berjumlah lebih dari 70.000.
Hafiz berkomentar mengenai sebagian hadits Imam Bukhori bahwa
110 hadits hadits tersebut dikritik. Dari 110 tersebut itu ditakhrijkan oleh Imam Muslim sebanyak 32
hadits dan oleh Hafiz sendiri sebanyak 78 hadits. Ibnu Hajar al-Asqalani
berpendapat bahwa hadits-hadits yang dipersoalkan ini “tidak seluruhnya ber-’illat tercela, melainkan kebanyakan
jawabannya mengandung kemungkinan dan sedikit dari jawabannya menyimpang.”
Kitab Shohih al-Bukhori mempunyai banyak syarah yang oleh Kasyf adh-Dhunun disebutkan 82 syarah. Namun yang paling utama adalah syarah Ibnu Hajar al-Asqalani yang
bernama “Fat al-Bari”, dan berikutnya syarah
“Al-Asthalani”, kemudian syarah “Al-Aini
Umdat al Qari”.
Imam al-Bukhori menyusun banyak kitab, antara lain At-Tarawikh ats Tsalatsah al-Kabir wal
Ausath wash-Shaghir (Tiga Tarikh: Besar, Sedang, dan Kecil), kitab Al-Kuna, kitab Al-Wuhdan, kitab Al-Adab
al-Mufrad, kitab Adh-Dhu’afa, dan
lain-lain.
Al-Bukhori meriwayatkan hadits yang bersumber dari
Adh-Dhahhak bin Mukhallad Abu Ashim an-Nabil, Makki bin Ibrahim al-Handhali,
Ubaidullah bin Musa al-Abbasi, Abdullah Quddus bin al-Hajjaj, Muhammad bin
Abdullah al-Anshari, dan lain-lain. Sedangkan yang meriwayatkan dari beliau
banyak sekali, misalnya At-Tirmidzi, Muslim, Nasa’i, Ibrahim bin Ishaq
al-Hurri, Muhammad bin Ahmad ad-Daulabi, dan orang terakhir yang meriwayatkan
darinya adalah Manshur bin Muhammad al-Bazwadi.
Thanks for reading
^_^
Sumber:
Daftar
pustaka (seperti yang tercantum dalam sumber):
1)
Al-Quranul
Karim
2)
At-Tarikhul
Kabir, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Darul Fikr, tanpa
tahun.
3)
Kitabuts
Tsiqat, Al-Imam Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Abi Hatim At-Tamimi Al-Busti,
darul Fikr, th. 1393 H / 1993 M.
4)
Kitabul
Jarh wat Ta’dil, Al-Imam Abi Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim At-Tamimi
Al-Handlali Ar-Razi, darul Fikr, tanpa tahun.
5)
Khalqu
Af’alil Ibad, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Muassasatur
Risalah, th. 1411 H / 1990 M.
6)
Tarikh
Baghdad, Al-Imam Abi Bakr Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi, Darul Fikr,
tanpa tahun.
7)
Al-Ikmal,
Al-Amir Al-Hafidh Ali bin Hibatullah Abi Naser bin Makula, Darul Kutub Al-Ilmiah,
th. 1411 H / 1990 M.
8)
Thabaqatul
Hanabilah, Al-Qadli Abul Husain Muhammad bin Abi Ya’la, Darul Ma’rifah, Beirut,
Libanon, tanpa tahun.
9)
Rijal
Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Abu Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain
Al-Bukhari Al-Kalabadzi, Darul Baaz, th. 1407 H / 1987 M.
10)
Al-Kamil
fit Tarikh, Al-Allamah Ibnu Atsir, Darul Fikr, tanpa tahun.
11)
Tahdzibul
Kamal, Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Muassasatur Risalah, th. 1413 H /
1992 M.
12)
Kitab
Tadzkratul Huffadl, Al-Imam Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahabi, Darul
Kutub Al-Ilmiah, tanpa tahun.
13)
Siyar
A`lamin Nubala’, Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi,
Muassasatur Risalah, th. 1417 H / 1996 M.
14)
Al-Bidayah
wan Nihayah, Al-Hafidh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Darul Kutub
Al-Ilmiyah, th. 1408 H / 1988 M.
15)
Hadyus
Sari Muqaddimah Fathul Bari, Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar
Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
16)
Qaidah
fi Jarh wat Ta’dil, Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Al-Maktabah
Al-Ilmiah, Lahore, Pakistan, th. 1403 H / 1983 M.
17)
Biografi
Al-Bukhari dalam Tarikh al-Baghdad, al-Khatib 2/4-36.
18)
Tadzkirat
al-Huffadh 2/122.
19)
Tahzib
at-Tahdzib Ibnu Hajar Asqalani 9/47.
P.S.
Silakan kalau mau copy-paste, namun kalau tidak keberatan
mohon sertakan link-back ke blog ini.
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar