بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
ALLAH Ta’âla adalah DIA yang ada sendiri, mengetahui, dan
kuasa. DIA meliputi, mengisi tiap ruang, makhluk, dan benda. DIA-lah sumber
kehidupan, pengetahuan dan kekuatan. ALLAH Ta’âla adalah Pencipta, Pengatur,
dan Penguasa alam semesta. DIA esa secara mutlak. Hakekat, pesona, dan sifat
ALLAH Ta’âla sama sekali di luar jangkauan pemahaman manusia, dan oleh karena
itu setiap upaya apapun untuk mendefinisikan hakekat-NYA akan berakhir tidak
hanya sia-sia tapi juga berbahaya bagi kesejahteraan dan keimanan spiritual
kita, karena sudah pasti hal itu akan membawa kita pada kekeliruan.
Cabang trinitarian Gereja Kristen, selama sekitar 17 abad
telah membuat otak para santo dan filsufnya letih karena mendefinisikan hakekat
dan pesona Tuhan. Dan apa yang telah mereka temukan? Athanasius, Augustine, dan
Aquinas telah memaksa kaum Kristen berada di bawah “derita kutukan abadi” –
harus meyakini Tuhan yang “ke tiga dari tiga” – Dalam Al-Quran, ALLAH Ta’âla
mengutuk keyakinan ini dengan kata-kata tegas:
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa
ALLAh adalah salah satu dari yang tiga; padahal sekali-kali tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari
apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih.” [Al-Maidah: 73]
Alasan mengapa para ulama Muslim selalu menghindar
mendefiniskan hakekat ALLAH Ta’âla adalah karena hakekat-NYA melampaui semua
sifat yang bisa didefinisikan (dijelaskan dengan uraian). ALLAH Ta’âla mempunyai
banyak nama yang dalam realitasnya hanyalah merupakan sifat-sifat yang berasal
dari hakekat-NYA melalui berbagai macam manifestasi di alam raya yang telah
ALLAH Ta’âla bentuk sendiri. Kita menyeru ALLAH Ta’âla dengan sebutan Yang Maha
Kuasa, Yang Maha Kekal, Yang Maha Ada di mana-mana, Yang Maha Pengasih, dan
sebagainya, karena kita memahami kekekalan, pengetahuan universal,
kemurah-hatian, dan sebagainya sebagai sifat yang memancar dari hakekat-NYA, dan
secara mutlak hanya milik-NYA saja. Hanya ALLAH Ta’âla yang Maha Mengetahui,
Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Suci, Maha Indah, Maha Baik, Maha Mencintai, Maha
Agung, Maha Penuntut Balas yang Dashyat, karena hanya dari DIA saja memancar
dan mengalir kualitas pengetahuan, kekuasaan, kehidupan, kesucian, keindahan,
dan sebagainya.
ALLAH Ta’âla tidak memiliki sifat dalam arti sebagaimana kita
memahami atribut-atribut itu. Dalam diri kita, ada suatu sifat atau ciri yang
juga dimiliki banyak individu dari suatu spesies. Namun, sifat dan ciri yang
dimiliki ALLAH hanya ALLAH saja yang memilikinya, dan tidak ada selain DIA yang
memilikinya. Ketika kita mengatakan, “Sulaiman itu bijak, kuat, dan adil”, maka
kita tidak menganggap bahwa semua kebijakan, kekuatan, dan keadilan berasal
dari dia. Kita hanya bermaksud mengatakan bahwa dia relatif bijak dibandingkan
dengan yang lain dari spesiesnya, dan kebijakan itupun relatif merupakan
sifatnya yang sama-sama dimiliki oleh individu-individu dari golongannya.
Sifat ilahiah adalah suatu emanasi (pancaran) dari ALLAH Ta’âla,
dan oleh karena itu merupakan suatu aktivitas. Setiap perbuatan ilaihan tak
lebih dan tak kurang adalah sebuah penciptaan. Harus juga diakui bahwa
sifat-sifat ilahiah, karena merupakan emanasi, menunjukkan waktu dan sebuah
permulaan. Inilah yang disebut kaum Sufi sebagai “aql-kull” (kecerdasan
universal), sebagai emanasi “aql awwal” (kecerdasan pertama). Kemudian
“nafs-kull” (jiwa universal) yaitu yang pertama mendengar dan menaati perintah
ilahiah ini, memancar dari “jiwa pertama” dan menjelma menjadi alam semesta.
Tentu saja, pandangan-pandangan mistis dari kaum Sufi ini tidak perlu dianggap
sebagai dogma Islam. Jika kita membahas lebih jauh ke dalam ajaran-ajaran gaib
ini, kita secara tanpa sengaja bisa tergiring ke dalam panteisme (kemusyrikan)
yang merusak amalan Islam.
Analisis ini akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa setiap
perbuatan ALLAH Ta’âla menunjukkan suatu emanasi ilahiah sebagai manifestasi
dan sifat khusus-NYA, tapi itu bukan hakekat dan eksistensi-NYA. ALLAH adalah
Pencipta, karena DIA menciptakan pada permulaan waktu, dan selalu mencipta.
ALLAH berbicara pada permulaan waktu persis sebagaimana DIA berbicara dengan
cara-NYA. Namun karena ciptaan-NYA tidaklah kekal dan bukan Tuhan, maka
firman-NYA pun tidak dapat dianggap kekal atau bukan Tuhan.
Kaum Kristen melangkah lebih jauh, dan menjadikan Pencipta
sebagai bapak Tuhan dan firman-NYA sebagai anak Tuhan. Dan juga, karena DIA
menghembuskan kehidupan ke makhluk-makhluk-NYA, DIA disebut roh Tuhan, dengan
melupakan logika bahwa DIA tidak bisa menjadi bapak sebelum penciptaan, tidak
juga menjadi anak sebelum DIA berbicara, dan tidak juga menjadi roh kudus
sebelum DIA memberi kehidupan.
Sifat-sifat ALLAH bisa dipahami melalui karya-karya-NYA dalam
berbagai manifestasi sebagai suatu posteriori. Namun, mengenai sifat kekal dan
apriori-NYA, hal itu tidak bisa dipahami, dan bahkan tidak bisa dibayangkan ada
kecerdasan manusia yang mampu memahami wujud dari suatu sifat kekal dan
hubungannya dengan hakekat ALLAH. Sesungguhnya, ALLAH Ta’âla tidak
mengungkapkan wujud dari eksistensi-Nya kepada kita dalam Kitab Suci ataupun
melalui kecerdasan manusia.
Sifat-sifat ALLAH Ta’âla jangan dianggap sebagai entitas atau
personalitas ilahiah yang berbeda-beda dan terpisah-pisah. Jika dianggap
berbeda-beda, maka kita akan memiliki tidak hanya satu trinitas dari oknum-oknum
Ketuhanan, tapi juga berpuluh-puluh trinitas. Sebuah sifat, sebelum ia
benar-benar memancar dari subjeknya, maka ia tidak ada. Kita tidak dapat
memberi sifat suatu subjek dengan suatu sifat tertentu sebelum sifat tersebut
benar-benar muncul darinya dan terlihat. Oleh karena itu, kita mengatakan
“ALLAH Maha Baik” ketika kita menikmati perbuatan-NYA yang baik, tapi kita
tidak dapat mengatakan dan menjelaskan dengan “ALLAH adalah kebaikan”, karena
kebaikan bukalah ALLAH, melainkan perbuatan-NYA.
Alasan inilah yang membuat Al-Quran selalu menghubungkan
ALLAH Ta’âla dengan sebutan kata sifat, seperti Yang Maha Bijak, Yang Maha
Mengetahui, Yang Maha Belaskasih, dan tidak pernah dengan deskripsi seperti
“ALLAH adalah cinta, pengetahuan, dan firman”, dan sebagainya, karena cinta
adalah perbuatan dari si pecinta, bukan si pecinta itu sendiri, sebagaimana
pengetahuan adalah perbuatan dari orang yang mengetahui dan bukan orangnya itu
sendiri. Firman ALLAH Ta’âla merupakan ungkapan Pengetahuan dan Kehendak ALLAH,
bukan ALLAH itu sendiri.
Thanks for
reading ^_^
Sumber:
Bagian dari
Bab Pendahuluan buku “Menguak Misteri Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam”,
2006 (cetakan ke-9), karya Prof. David Benjamin Keldani (Abdul Ahad Dawud)
P.S.
Silakan kalau mau copy-paste, dan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar