Senin, 27 Mei 2013

IMAM MAHDI: FAKTA ATAU DONGENG?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Sebagian Muslim menganggap remeh persoalan mengenai Imam Mahdi dan mengalami hambatan dalam meyakininya. Hal ini terjadi karena hadits-hadits mengenai Imam Mahdi dianggap hanya mencapai derajat mutawatir. Beberapa pengkaji masalah Imam Mahdi juga melontarkan kemusykilan karena tidak adanya hadits-hadits tentang Imam Mahdi pada dua sumber penting hadits, yaitu Shohih Bukhari dan Shohih Muslim.

Kecuali Shohih Bukhari dan Muslim (Shohihain), seluruh kitab hadits mencantumkan hadits-hadits tentang Imam Mahdi: Shohih at-Tirmidzi, Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan kitab-kitab lain.

Mengenai perkara ini, Abdullah al-Gharifi memberikan tiga penjelasan.

(1)   Shohih Bukhari dan Muslim belum mencakup seluruh hadits shohih. Al-Bukhari sendiri pernah menegaskan bahwa ia belum mencatat seluruh hadits (yang dianggap) shohih. Bahkan hadits-hadits shohih yang belum dicantumkan dalam kitabnya masih jauh lebih banyak daripada yang sudah dicantumkan. Banyak ulama dan ahlul hadits mendukung pendapat bahwa masih banyak sekali hadits shohih yang belum tercantum dalam Shohihain.
Oleh karena itulah, terdapat ulama semisal al-Hakim yang menyusun kitab berjudul Mutadrak ash-Shohihain, yang di dalamnya ia menghimpun sejumlah besar hadits shohih yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dan sesuai pula dengan tolak ukur yang mereka berdua gariskan untuk hadits-hadits shohih mereka namun belum disebutkan dalam kitab shohih mereka. Dengan demikian, tidak semua hadits yang tidak disebutkan dalam Shohihain harus dianggap sebagai hadits tertolak atau tidak shohih.

(2)   Terdapat beberapa perkara yang dianggap dapat diterima di kalangan Ahlu as-Sunnah yang diyakini sebagai hal yang telah terbukti kebenarannya meski perkara tersebut tidak disebutkan sama sekali dalam Shohihain. Contohnya adalah hadits tentang 10 orang yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga. Hadits ini tidak disebutkan dalam Shohihain. Jika hadits tentang Imam Mahdi ditolak semata-mata hanya karena tidak disebutkan dalam Shohihain, mengapa hadits tentang 10 orang yang dijamin masuk surga tersebut tidak ditolak juga? Sumber tentang hadits ini sedikit sekali jumlahnya, tapi sumber tentang Imam Mahdi jumlahnya mencapai derajat mutawatir.

(3)   Al-Bukhari dan Muslim memang menyebutkan tentang Imam Mahdi, namun tanpa penegasan keshohihannya. Dalam bab “al-Hadits ‘an Akhir az-Zaman wa Nuzūl Isa ‘Alaihi as-Salam”, Imam Bukhari mengemukakan kalimat “wa imāmukum minkum” dalam sebuah hadits yang diterima dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, yang berarti bahwa ketika Nabi Isa ‘alaihissalam turun di Akhir Zaman, beliau shalat sebagai makmum di belakang imam (pemimpin) umat ini. Lalu, siapakah imam kaum Muslim yang menjadi imam shalat Nabi Isa ‘alaihissalam di Akhir Zaman tersebut?

Hadits-hadits dalam sumber lain menegaskan bahwa imam tersebut adalah Imam Mahdi. Dalam riwayat Muslim dikemukakan kalimat berikut, “Dan amir-mu adalah dari kalanganmu, yang di belakangnya al-Masih, Isa ‘alaihissalam, shalat (sebagai makmum).”

Dalam derajat siginifikan, hadits-hadits ini sudah mencapai derajat mutawatir. Bahkan terdapat sebuah hadits yang diriwiyatkan oleh al-Humawaini asy-Safi’i dalam kitabnya “Farā’id as-Samathain” yang berbunyi, “Sesungguhnya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa mengingkari munculnya Imam Mahdi, sungguh ia telah kafir pada apa yang diturunkan kepada Muhammad.” Namun, Abdullah al-Gharifi berkomentar mengenai hadits ini:

“Sekiranya di dalam hadits ini terdapat sesuatu yang dipandang ganjil dan ditolak, dan karena sanad-nya dipandang tidak bersambung kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, dan juga karena seorang Muslim tidak akan dinyatakan kafir karena pengingkarannya terhadap sesuatu yang tidak tergolong dalam kategori ‘keharusan dalam agama’ (al-ma’lūm fi ad-din bi adh-dharūrah), maka yang demikian itu memang benar – yakni, hadits ini keluar dari kategori mutawatir, ganjil (syadz), dan tidak perlu diperhatikan. Hanya saja, orang itu tidak dinyatakan kafir karena pengkafiran (at-takfir) merupakan perkara yang sangat serius dalam wacana keislamanan, sepanjang mereka masih dalam koridor aman Lā ilāha illā ALLAH, Muhammadur Rasulullah.
Jika persoalan Imam Mahdi yang memiliki sumber berlimpah dalam bentuk riwayat-riwayat dan hadits-hadits ini dipandang sebagai dongeng dan khurafat, maka kita tidak mungkin menemukan satu persoalan pun dalam khazanah keislaman yang bukan khurafat. Sebab, sebagian besar persoalan yang terdapat dalam Islam memiliki sumber yang melimpah ruah dalam bentuk riwayat dan hadits.” [Abdullah al-Gharifi, Ahadits wa Kalimat hawl al-Imam al-Muntazhar, Maktabah al-Hidayah]

Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa hadits tentang Imam Mahdi yang bisa dijadikan landasan berjumlah 50. Sebagian shohih, sebagian hasan, dan yang lainnya dhaif. Tidak diragukan lagi bahwa hadits-hadits tersebut mutawatir. Riwayat-riwayat yang bersumber dari para sahabat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam (al-atsar) jumlahnya tak kalah banyaknya dan memberi nilai positif. [risalah Asy-Syaukani, at-Tawdhih fi Tawatur Ma Ja’a fi al-Muntazhar wa ad-Dajjal wa al-Masih]

Dalam kitab al-Fath ar-Rabbāni, asy-Syaukani juga menyatakan bahwa hadits-hadits yang bisa dipercaya tentang Imam Mahdi berjumlah 50, sedangkan riwayat yang bersumber dari para sahabat berjumlah 28. Jumlah semua hadits dan riwayat yang dapat kita kumpulkan mencapai derajat mutawatir bila ditelaah secara mendalam.


Wallāhu a’lam.


Thanks for reading  ^_^

Sumber:
Buku “Menyongsong Imam Mahdi: Sang Penakluk Dajjal”, 2009 (cetakan IV), karya Muhammad Isa Dawud

PS:
Silakan kalau mau copy-paste, namun kalau tidak keberatan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.



Related Posts:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar