بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
Sebagian Muslim menganggap remeh persoalan mengenai Imam Mahdi dan mengalami hambatan dalam meyakininya. Hal ini terjadi karena
hadits-hadits mengenai Imam Mahdi dianggap hanya mencapai derajat mutawatir. Beberapa pengkaji masalah
Imam Mahdi juga melontarkan kemusykilan karena tidak adanya hadits-hadits
tentang Imam Mahdi pada dua sumber penting hadits, yaitu Shohih Bukhari dan Shohih
Muslim.
Kecuali Shohih Bukhari dan Muslim (Shohihain), seluruh kitab hadits mencantumkan hadits-hadits tentang
Imam Mahdi: Shohih at-Tirmidzi, Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i,
Sunan Ibnu Majah, dan kitab-kitab lain.
Mengenai perkara ini, Abdullah al-Gharifi memberikan tiga
penjelasan.
(1) Shohih Bukhari
dan Muslim belum mencakup seluruh hadits shohih.
Al-Bukhari sendiri pernah menegaskan bahwa ia belum mencatat seluruh hadits
(yang dianggap) shohih. Bahkan hadits-hadits
shohih yang belum dicantumkan dalam
kitabnya masih jauh lebih banyak daripada yang sudah dicantumkan. Banyak ulama
dan ahlul hadits mendukung pendapat bahwa masih banyak sekali hadits shohih yang belum tercantum dalam Shohihain.
Oleh karena itulah, terdapat
ulama semisal al-Hakim yang menyusun kitab berjudul Mutadrak ash-Shohihain, yang di dalamnya ia menghimpun sejumlah
besar hadits shohih yang memenuhi
syarat yang ditetapkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dan sesuai pula dengan tolak
ukur yang mereka berdua gariskan untuk hadits-hadits shohih mereka namun belum disebutkan dalam kitab shohih mereka. Dengan demikian, tidak
semua hadits yang tidak disebutkan dalam Shohihain
harus dianggap sebagai hadits tertolak atau tidak shohih.
(2) Terdapat
beberapa perkara yang dianggap dapat diterima di kalangan Ahlu as-Sunnah yang
diyakini sebagai hal yang telah terbukti kebenarannya meski perkara tersebut
tidak disebutkan sama sekali dalam Shohihain.
Contohnya adalah hadits tentang 10 orang yang diberi kabar gembira sebagai
penghuni surga. Hadits ini tidak disebutkan dalam Shohihain. Jika hadits tentang Imam Mahdi ditolak semata-mata hanya
karena tidak disebutkan dalam Shohihain,
mengapa hadits tentang 10 orang yang dijamin masuk surga tersebut tidak ditolak
juga? Sumber tentang hadits ini sedikit sekali jumlahnya, tapi sumber tentang
Imam Mahdi jumlahnya mencapai derajat mutawatir.
(3) Al-Bukhari
dan Muslim memang menyebutkan tentang Imam Mahdi, namun tanpa penegasan
keshohihannya. Dalam bab “al-Hadits ‘an Akhir az-Zaman wa Nuzūl Isa ‘Alaihi
as-Salam”, Imam Bukhari mengemukakan kalimat “wa imāmukum minkum” dalam sebuah
hadits yang diterima dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, yang berarti
bahwa ketika Nabi Isa ‘alaihissalam turun di Akhir Zaman, beliau shalat sebagai
makmum di belakang imam (pemimpin) umat ini. Lalu, siapakah imam kaum Muslim
yang menjadi imam shalat Nabi Isa ‘alaihissalam di Akhir Zaman tersebut?
Hadits-hadits dalam sumber lain menegaskan bahwa imam
tersebut adalah Imam Mahdi. Dalam riwayat Muslim dikemukakan kalimat berikut, “Dan
amir-mu adalah dari kalanganmu, yang
di belakangnya al-Masih, Isa ‘alaihissalam, shalat (sebagai makmum).”
Dalam derajat siginifikan, hadits-hadits ini sudah mencapai
derajat mutawatir. Bahkan terdapat
sebuah hadits yang diriwiyatkan oleh al-Humawaini asy-Safi’i dalam kitabnya “Farā’id
as-Samathain” yang berbunyi, “Sesungguhnya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wasallam bersabda: Barangsiapa mengingkari munculnya Imam Mahdi, sungguh ia
telah kafir pada apa yang diturunkan kepada Muhammad.” Namun, Abdullah
al-Gharifi berkomentar mengenai hadits ini:
“Sekiranya di dalam hadits ini terdapat sesuatu yang
dipandang ganjil dan ditolak, dan karena sanad-nya
dipandang tidak bersambung kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, dan
juga karena seorang Muslim tidak akan dinyatakan kafir karena pengingkarannya
terhadap sesuatu yang tidak tergolong dalam kategori ‘keharusan dalam agama’ (al-ma’lūm fi ad-din bi adh-dharūrah),
maka yang demikian itu memang benar – yakni, hadits ini keluar dari kategori mutawatir, ganjil (syadz), dan tidak perlu diperhatikan. Hanya saja, orang itu tidak
dinyatakan kafir karena pengkafiran (at-takfir)
merupakan perkara yang sangat serius dalam wacana keislamanan, sepanjang mereka
masih dalam koridor aman Lā ilāha illā
ALLAH, Muhammadur Rasulullah.
Jika persoalan Imam Mahdi yang memiliki sumber berlimpah dalam
bentuk riwayat-riwayat dan hadits-hadits ini dipandang sebagai dongeng dan
khurafat, maka kita tidak mungkin menemukan satu persoalan pun dalam khazanah
keislaman yang bukan khurafat. Sebab, sebagian besar persoalan yang terdapat
dalam Islam memiliki sumber yang melimpah ruah dalam bentuk riwayat dan hadits.”
[Abdullah al-Gharifi, Ahadits wa Kalimat
hawl al-Imam al-Muntazhar, Maktabah al-Hidayah]
Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa hadits tentang Imam Mahdi
yang bisa dijadikan landasan berjumlah 50. Sebagian shohih, sebagian hasan,
dan yang lainnya dhaif. Tidak diragukan
lagi bahwa hadits-hadits tersebut mutawatir.
Riwayat-riwayat yang bersumber dari para sahabat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi
wasallam (al-atsar) jumlahnya tak
kalah banyaknya dan memberi nilai positif. [risalah Asy-Syaukani, at-Tawdhih fi Tawatur Ma Ja’a fi
al-Muntazhar wa ad-Dajjal wa al-Masih]
Dalam kitab al-Fath
ar-Rabbāni, asy-Syaukani juga menyatakan bahwa hadits-hadits yang bisa
dipercaya tentang Imam Mahdi berjumlah 50, sedangkan riwayat yang bersumber
dari para sahabat berjumlah 28. Jumlah semua hadits dan riwayat yang dapat kita
kumpulkan mencapai derajat mutawatir
bila ditelaah secara mendalam.
Wallāhu a’lam.
Thanks for reading ^_^
Sumber:
Buku “Menyongsong Imam Mahdi: Sang Penakluk
Dajjal”, 2009 (cetakan IV), karya Muhammad Isa Dawud
PS:
Silakan kalau mau copy-paste, namun kalau tidak keberatan
mohon sertakan link-back ke blog ini.
Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar