بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم
ALLAH Ta’âla memberi petunjuk dan hidayah kepada siapa saja
yang mencari kebenaran, di manapun mereka berada, bahkan bila di biara
sekalipun. Itulah yang terjadi pada Irena Handono, atau Hj. Irena Handono, yang
mendapat hidayah justru saat dia sedang giatnya mencari kelemahan Islam. Awal bergetarnya
kalbu Irena pada keesaan ALLAH Ta’âla adalah ketika membaca Suroh Al-Ikhlash,
suroh ke tiga terakhir dari Kitab Agung Al-Quran.
Masa Kecil dan Remaja
Irena Handono dibesarkan dalam keluarga yang religius. Kedua orangtuanya
merupakan pemeluk Katholik yang taat. Sejak bayi dia sudah dibaptis. Selain bersekolah
seperti biasa, dia juga mengikuti kursus agama secara privat.
Sejak kecil, Irena sudah termotivasi untuk masuk biara. Bagi
orang Katholik, hidup membiara adalah hidup yang paling mulia karena merupakan
pengabdian total seluruh hidupnya kepada Tuhan. Semakin dewasa, keinginan Irena
tersebut semakin kuat, sehingga menjadi biarawati adalah tujuan hidup dia
satu-satunya. Ketika remaja, dia bahkan sudah aktif di organisasi gereja.
Secara materi, kehidupan Irena nyaris sempurna. Dia dilahirkan
di keluarga etnis Tionghoa kaya raya. Luas rumahnya 1.000 m2. Ayahnya
adalah seorang pengusaha terkenal di Surabaya, dan merupakan salah satu donatur
terbesar gereja di Indonesia. Irena adalah anak ke lima dan wanita satu-satunya
dari lima bersaudara.
Selain materi, Irena juga diberi kelebihan lain berupa
kecerdasan yang cukup lumayan. Prestasi akademiknya selalu memuaskan. Dia pernah
terpilih sebagai ketua termuda pada salah satu organisasi gereja.
Masa remaja Irena sama seperti layaknya remaja pada umumnya,
punya banyak teman, disayangi oleh teman, dan bahkan menjadi teman favorit
teman-temannya. Masa remaja dia habiskan dengan penuh kesan, bermakna, dan
indah, namun tidak larut dalam pergaulan yang tidak baik seperti hura-hura atau
foya-foya meski dia memiliki banyak fasilitas untuk itu. Keinginan dia untuk
menjadi biarawati masih tetap kuat.
Hidup Membiara
Ketika lulus SMA, Irena memutuskan untuk hidup membiara,
hidup untuk mengikuti panggilan Tuhan. Orangtuanya awalnya terkejut karena
merasa berat membiarkan anak gadisnya hidup terpisah dari mereka. Namun sebagai
penganut Katholik yang taat, mereka akhirnya mengizinkan Irena hidup membiara. Kakak-kakaknya
justru bangga mempunyai adik yang ingin menjadi biarawati.
Memasuki kehidupan biara, tidak ada kesulitan berarti bagi
Irena, bahkan dia merasakan kemudahan. Dari sekian banyak biarawati, hanya ada
dua orang yang diberi tugas ganda, yaitu kuliah di biara dan kuliah di Institut
Filsafat Teologia, seperti seminari yang merupakan pendidikan akhir pastur. Dan
salah satu biarawati yang mendapat keistimewaan itu adalah Irena.
Di usianya yang 19 tahun, Irena harus menekuni dua pendidikan
sekaligus, yaitu pendidikan di biara dan di seminari. Dia mengambil Fakultas
Comparative Religion, Jurusan Islamologi. Di tempat inilah untuk pertama
kalinya dia mengenal Islam.
Awal Mengenal Islam
Di awal perkuliahan, dosen memberi pengantar bahwa agama terbaik
adalah Kristen, sedangkan agama lain tidak baik. Sang dosen mengatakan bahwa
Islam adalah agama yang jelek. Sang dosen membawakan pengantar: Di Indonesia
yang melarat itu siapa? Yang bodoh siapa? Yang kumuh siapa? Yang tinggal di
bantaran sungai siapa? Yang kehilangan sandal tiap hari Jumat siapa? Yang berselisih
paham tidak bisa bersatu siapa? Yang jadi teroris siapa? Semua menunjuk pada
Islam, sehingga sang dosen mengatakan bahwa Islam itu jelek.
Namun, Irena ternyata tidak menelan mentah-mentah perkataan
sang dosen. Dia mengatakan bahwa kesimpulan itu perlu diuji. Dia mencontohkan
negara lain seperti Filipina, Meksiko, Italia, Irlandia, dan negara-negara
mayoritas Kristen lain tak kalah amburadulnya. Dia juga menyebutkan negara-negara
penjajah hingga terbentuknya negara Amerika dan Australia, dan terbentuknya
negara Israel yang awalnya tidak punya wilayah kemudian merampok Palestina. Dia
menyatakan bahwa Islam adalah simbol keburukan tidaklah terbukti. Dia kemudian
tertarik mempelajari masalah ini. Untuk tujuan itu, dia meminta izin pada
pastur untuk mempelajari Islam dari sumbernya sendiri, yaitu Al-Quran dan
al-Hadits. Izin kemudian diberikan dengan catatan, Irena harus mencari
kelemahan Islam.
Suroh Al-Ikhlash
Pertama kalinya memegang Kitab Suci Al-Quran, Irena
kebingungan. Dia tidak mengetahui mana yang depan, mana yang belakang, mana
atas dan mana bawah. Dia semakin kebingungan setelah mengamati bentuk hurufnya.
Dia kemudian mempelajari Al-Quran dari terjemahannya.
Irena yang belum mengerti bahwa membaca
Al-Quran dimulai dari kanan, membuka Al-Quran dari kiri. Yang pertama dia lihat
adalah Suroh Al-Ikhlash.
Irena kemudian membaca terjemahan Suroh
Al-Ikhlash dan memujinya karena terjemahannya bagus. Suara hatinya membenarkan
bahwa ALLAH itu ahad, ALLAH itu satu, ALLAH tidak beranak, tidak
diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang menyamai DIA. Irena memuji suroh
tersebut, “Ini kok bagus, dan bisa diterima.”
Ketika kuliah Teologia pagi harinya, dosen
Irena mengatakan bahwa Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapa,
Tuhan Putra, dan Tuhan Roh Kudus. Tiga Tuhan dalam satu, satu Tuhan dalam tiga,
hal ini yang disebut Trinitas atau Tritunggal. Pada malam harinya, ada suatu
dorongan yang membuat Irena ingin mengkaji lagi Suroh Al-Ikhlash. “ALLAHU ahad,
ini yang benar,” kata Irena pada akhirnya.
Konsep
Trinitas
Hari berikutnya, dialog terjadi antara
Irena dan dosen-dosennya.
Irena :
Pastur, saya belum paham hakekat Tuhan.
Pastur :
Yang mana yang anda belum paham?
Sang pastur kemudian maju ke papan tulis
dan menggambar setiga sama sisi, AB=BC=CA. Dia menjelaskan bahwa segitiganya
satu, sisinya tiga, yang berarti Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga. Tuhan Bapa
sama kuasanya dengan Tuhan Putra dan sama kuasanya dengan Tuhan Roh Kudus.
Irena :
Kalau demikian, suatu saat nanti kalau dunia ini sudah modern, iptek semakin canggih,
Tuhan kalau hanya punya tiga pribadi, tidak akan mampu untuk mengelola dunia
ini. Harus ada penambahnya menjadi empat pribadi.
Pastur :
Tidak bisa!
Irena :
Bisa saja.
Irena kemudian maju ke papan tulis dan
menggambar bujur sangkar. Jika sang dosen bisa mengatakan Tuhan itu tiga dengan
gambar segitiga sama sisi, maka Irena menggambar bujur sangkar. Dia mengatakan
bisa saja disimpulkan bahwa Tuhan itu pribadinya ada empat. Namun, pastur tetap
bilang tidak boleh.
Irena :
Mengapa tidak boleh?
Pastur :
Ini dogma, yaitu aturan yang dibuat oleh para pemimpin gereja.
Irena :
Kalau saya belum paham dengan dogma itu bagaimana?
Pastur :
Ya terima saja, telan saja. Kalau anda ragu-ragu, hukumnya dosa!
Meski diakhiri dengan jawaban demikian,
malam harinya kembali ada dorongan yang membuat Irena ingin mempelajari Suroh
Al-Ikhlas. Hal ini terjadi berkelanjutan, hingga akhirnya dia bertanya kembali
pada pastur.
Irena :
Siapa yang membuat mimbar, membuat kursi, meja?
Sang pastur yang mulai curiga tidak mau
menjawab.
Pastur :
Coba anda jawab.
Irena :
Itu semua yang membuat tukang kayu.
Pastur :
Lalu kenapa?
Irena :
Menurut saya, semua barang itu walaupun dibuat setahun lalu, sampai 100 tahun kemudian
tetap kayu, tetap meja, tetap kursi. Tidak ada satupun yang membuat mereka
berubah jadi tukang kayu.
Pastur :
Apa maksud anda?
Irena :
Tuhan menciptakan alam semesta dan seluas isinya termasuk manusia. Dan manusia
yang diciptakan 100 tahun lalu sampai 100 tahun kemudian, sampai Kiamat
tetap saja manusia. Manusia tidak mampu mengubah dirinya menjadi Tuhan, dan
Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan manusia.
Malam harinya, Irena kembali mengkaji Suroh
Al-Ikhlash. Hari berikutnya, dia bertanya kembali pada pastur.
Irena :
Siapa yang melantik (ketua) RW?
Bertanya seperti itu, Irena ditertawakan
oleh para pastur.
Irena :
Sebetulnya saya tahu.
Pastur :
Kalau anda tahu, mengapa anda tanya? Coba jelaskan.
Irena :
Menurut saya, yang melantik RW itu pasti eselon di atasnya, lurah atau kepala
desa. Kalau
sampai ada RW dilantik oleh RT, jelas pelantikan itu tidak sah.
Pastur :
Apa maksud anda?
Irena :
Menurut pendapat saya, Tuhan itu menciptakan alam semesta dan seluruh isinya termasuk
manusia. Manusia itu hakekatnya sebagai hamba Tuhan. Maka kalau ada manusia
melantik sesama manusia untuk menjadi Tuhan, jelas pelantikan itu tidak sah.
Keluar dari biara malam berikutnya, Irena
kembali mengkaji Suroh Al-Ikhlash. Dialog-dialog kembali terjadi, sampai pada
akhirnya dia bertanya mengenai sejarah gereja.
Menurut semua literatur yang telah
dipelajari Irena dan dari kuliah yang diterimanya, Yesus disebut dengan sebutan
Tuhan untuk pertama kalinya adalah ketika dia “dilantik” menjadi Tuhan pada 325
Masehi. Irena berkesimpulan bahwa sebelum itu Yesus belum menjadi Tuhan, dan
yang melantiknya sebagai Tuhan adalah kaisar Konstantin, kaisar Romawi.
Pelantikan Yesus sebagai Tuhan terjadi pada
sebuah Conseni/Konsili (muktamar/konferensi para uskup) di kota Nicea. Pada
waktu itulah Yesus pertama kalinya berpredikat sebagai Tuhan. Irena mengajak umat
Kristen di seluruh dunia untuk mencari cukup satu ayat saja dalam Injil –
Matius, Markus, Lukas, Yohanes – yang berisi satu kalimat Yesus yang menyatakan
“Aku Tuhanmu”. Dia mengatakan tidak ada satupun ayat seperti itu.
Para pastur yang mendengar hal itu kaget
bukan main dan menganggap Irena sebagai biarawati yang kritis. Hingga pertemuan
berikutnya, Irena ternyata tidak mampu menemukan kelemahan Al-Quran yang selama
ini dia pelajari. Dia bahkan yakin tidak ada manusia yang mampu.
Kebiasaan mengkaji Al-Quran tetap Irena
teruskan. Hingga pada akhirnya, Irena berkesimpulan bahwa agama yang haq itu cuma
satu, Islam.
Keluar
Dari Biara
Irena kemudian mengambil keputusan besar,
yaitu keluar dari biara. Hal tersebut merupakan hasil proses pertimbangan dan
perenungan yang dalam, termasuk melalui surat dan ayat. Bahkan, Irena mengenal
sosok Maryam yang sesungguhnya dari Al-Quran Suroh Maryam. Padahal dalam
doktrin Katholik, Maryam mendapat tempat yang sangat istimewa. Nyaris tidak ada
doa tanpa melalui perantaranya, namun anehnya tidak ada Injil Maryam.
Irena keluar dari biara dengan keyakinan
bahwa Islam adalah agama ALLAH. Namun, tidak saat itu juga dia bersyahadat. Dia
baru bersyahadat enam tahun kemudian. Selama masa enam tahun tersebut, dia
masih bergelut melakukan pencarian. Dia diterpa berbagai macam persoalan,
kesedihan, kesenangan, suka dan duka. Sedih karena dia harus meninggalkan
keluarganya. Reaksi orangtuanya pun bingung bercampur sedih.
Irena melanjutkan kuliah di Universitas
Atmajaya. Dia kemudian menikah dengan seorang Katholik. Harapan dia adalah,
dengan menikah maka dia tidak akan lagi terusik dengan pencarian agama. Dia berpikir,
setelah menikah semuanya akan selesai. Namun, ternyata diskusi seperti itu
tetap berjalan, apalagi suaminya adalah aktivis kampus. Mereka kerap berdiskusi
dan selalu berakhir dengan pertengkaran. Jika Irena mulai bicara tentang Islam,
suaminya menyudutkan, dan Irena tidak menyukai jika sesuatu dihujat tanpa
alasan. Jika disudutkan, maka Irena akan membela, dan hal itu membuat jurang
pemisah antara dia dan suaminya semakin lebar, hingga sampai pada puncaknya.
Bersyahadat
Irena menganggap rumah tangganya sudah
tidak bisa diteruskan dan tidak mungkin bertahan lama. Dia kemudian mulai mencari
ustadz untuk belajar Islam karena sebelumnya dia hanya belajar melalui buku.
ALLAH kemudian mempertemukan Irena dengan
ustadz yang bagus, salah satunya adalah KH. Misbah (Alm.), mantan Ketua MUI
Jawa Timur. Irena beberapa kali berkonsultasi dengan sang kyai dan mengemukakan
niat untuk memeluk Islam. Sang kyai tiga kali menjawab dengan jawaban yang
sama, “Masuk Islam itu gampang, tapi apakah anda sudah siap dengan
konsekuensinya?”
Irena :
Siap!
Kyai :
Apakah anda tahu konsekuensinya?
Irena :
Pernikahan saya.
Kyai :
Kenapa dengan pernikahan anda, mana yang anda pilih?
Irena :
Islam!
Pada akhirnya, rohmat ALLAH datang kepada
Irena Handono. Irena kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan sang
kyai, pada 1983 di usinya yang ke 26. Setelah resmi memeluk Islam, dia mengurus
perceraiannya dengan sang suami yang tetap pada agamanya. Pernikahan yang
berlangsung lima tahun tersebut berbuah tiga orang anak, satu wanita dan dua
laki-laki, dan mereka semua mengikuti jejaknya memeluk Islam.
Sholat
Pertama Kali
Satu hari sebelum Ramadhan 1983, Irena
langsung melaksanakan sholat. Saat itu, salah satu kakaknya mencarinya. Karena rumah
yang besar dan terdapat banyak kamar, kakaknya mencarinya sambil berteriak. Dia
kemudian membuka kamar Irena dan terkejut. “Kok ada perempuan sholat?” kata
kakaknya. Dia berpikir bahwa yang sholat adalah orang lain, dan kemudian
menutup pintu.
Hari berikutnya, kakak Irena yang lain
mencarinya. Dia kemudian mengetahui bahwa yang sedang sholat itu adalah
adiknya. Usai sholat, Irena tidak mau lagi menyembunyikan keislamannya yang
selama ini dia tutupi. Kakaknya terkejut luar biasa, tidak menyangka ternyata
adiknya sendiri yang sedang sholat. Dia tidak bisa bicara, wajahnya seketika
merah dan pucat. Sejak itu, keretakan antara Irena dan kakaknya mulai terjadi.
Meninggalkan
Rumah
Irena memutuskan untuk meninggalkan rumah
karena keislamannya tidak diterima keluarganya. Dia kemudian mengontrak rumah
sederhana di Kota Surabaya. Meski begitu, ibunya tetap tidak mau kehilangan
Irena, apalagi dia adalah anak wanita satu-satunya. Ibunya sering menjenguk
sesekali hingga enam tahun kemudian dia meninggal. Setelah sang ibu meninggal,
tidak ada kontak lagi antara Irena dengan ayah atau anggota keluarga yang lain.
Irena sempat berdakwah pada ibunya, meski ketegangan-ketegangan
tetap terjadi. Islam, bagi sang ibu, identik dengan hal-hal yang dicontohkan
oleh sang pastur saat Irena pertama kuliah. Pendapat sang ibu yang sudah
terpola sangat susah diubah, apalagi dia sudah berusia lanjut.
Mulai
Berdakwah
Pada 1992, Irena Handono menunaikan Rukun
Islam ke-5. Selama memeluk Islam hingga naik haji, Irena selalu menggerutu
kepada ALLAH dengan sedikit kesal, “Kalau Engkau, ya ALLAH, menakdirkanku
sebagai seorang yang mukminah, mengapa Engkau tidak menakdirkanku menjadi anak
orang Islam, punya bapak Islam, dan ibu orang Islam, sama seperti
saudara-saudara Muslim yang kebanyakan itu. Dengan begitu, aku tidak perlu
mengalami banyak penderitaan. Mengapa jalan hidupku harus berliku-liku seperti ini?”
Di Masjidil Haram, Irena bersungkur mohon
ampun, dilanjutkan sujud syukur. Dia bersyukur mendapat petunjuk dengan
perjalanan hidupnya yang seperti itu. Islam adalah agama hidayah, agama haq. Islam
adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Manusia diberi oleh ALLAH
berupa akal, budi, emosi, dan rasio. Agama Islam adalah agama untuk orang
berakal. Semakin dalam daya analisis kita, insya ALLAH, ALLAH akan memberi.
ALLAH berfirman, “Apakah sama orang yang tahu dan yang tidak tahu?”
Sepulang haji, hati Irena semakin terbuka
dengan Islam. ALLAH Ta’âla berkehendak memberikan kemudahan padanya dalam
belajar agama Tauhid ini. Tidak banyak kesulitan yang dialami Irena dalam
mempelajari kitab-kitab. ALLAH memberi kekuatan padanya untuk berbicara dan
berdakwah. Dia menjadi begitu lancar berdakwah dan banyak diundang untuk
berdakwah. Tak hanya di Surabaya, dia juga kerap diundang berdakwah di Jakarta.
ALLAH kemudian memberi Irena pasangan hidup.
Melalui pertemuan yang Islami, sang calon suami yang merupakan ulama,
melamarnya. Dia adalah Masruchin Yusuf, duda lima anak yang istrinya telah
meninggal dunia. Mereka berdua sama-sama aktif berdakwah hingga pelosok desa.
Irena Handono, dalam
dirinya terus menekankan bahwa:
Hidupku, matiku, hanya
karena ALLAH.
Sumber:
Penuturan Hj. Irena Handono kepada Siwi
Wulandari dari majalah “Hidayah”.
P.S.
Silakan kalau mau copy-paste,
dan mohon sertakan link-back
ke blog ini. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar