Sabtu, 24 Agustus 2013

IRENA HANDONO, MANTAN BIARAWATI YANG MASUK ISLAM SETELAH MENCARI KELEMAHAN AL-QURAN

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

ALLAH Ta’âla memberi petunjuk dan hidayah kepada siapa saja yang mencari kebenaran, di manapun mereka berada, bahkan bila di biara sekalipun. Itulah yang terjadi pada Irena Handono, atau Hj. Irena Handono, yang mendapat hidayah justru saat dia sedang giatnya mencari kelemahan Islam. Awal bergetarnya kalbu Irena pada keesaan ALLAH Ta’âla adalah ketika membaca Suroh Al-Ikhlash, suroh ke tiga terakhir dari Kitab Agung Al-Quran.


Masa Kecil dan Remaja

Irena Handono dibesarkan dalam keluarga yang religius. Kedua orangtuanya merupakan pemeluk Katholik yang taat. Sejak bayi dia sudah dibaptis. Selain bersekolah seperti biasa, dia juga mengikuti kursus agama secara privat.

Sejak kecil, Irena sudah termotivasi untuk masuk biara. Bagi orang Katholik, hidup membiara adalah hidup yang paling mulia karena merupakan pengabdian total seluruh hidupnya kepada Tuhan. Semakin dewasa, keinginan Irena tersebut semakin kuat, sehingga menjadi biarawati adalah tujuan hidup dia satu-satunya. Ketika remaja, dia bahkan sudah aktif di organisasi gereja.

Secara materi, kehidupan Irena nyaris sempurna. Dia dilahirkan di keluarga etnis Tionghoa kaya raya. Luas rumahnya 1.000 m2. Ayahnya adalah seorang pengusaha terkenal di Surabaya, dan merupakan salah satu donatur terbesar gereja di Indonesia. Irena adalah anak ke lima dan wanita satu-satunya dari lima bersaudara.

Selain materi, Irena juga diberi kelebihan lain berupa kecerdasan yang cukup lumayan. Prestasi akademiknya selalu memuaskan. Dia pernah terpilih sebagai ketua termuda pada salah satu organisasi gereja.

Masa remaja Irena sama seperti layaknya remaja pada umumnya, punya banyak teman, disayangi oleh teman, dan bahkan menjadi teman favorit teman-temannya. Masa remaja dia habiskan dengan penuh kesan, bermakna, dan indah, namun tidak larut dalam pergaulan yang tidak baik seperti hura-hura atau foya-foya meski dia memiliki banyak fasilitas untuk itu. Keinginan dia untuk menjadi biarawati masih tetap kuat.


Hidup Membiara

Ketika lulus SMA, Irena memutuskan untuk hidup membiara, hidup untuk mengikuti panggilan Tuhan. Orangtuanya awalnya terkejut karena merasa berat membiarkan anak gadisnya hidup terpisah dari mereka. Namun sebagai penganut Katholik yang taat, mereka akhirnya mengizinkan Irena hidup membiara. Kakak-kakaknya justru bangga mempunyai adik yang ingin menjadi biarawati.

Memasuki kehidupan biara, tidak ada kesulitan berarti bagi Irena, bahkan dia merasakan kemudahan. Dari sekian banyak biarawati, hanya ada dua orang yang diberi tugas ganda, yaitu kuliah di biara dan kuliah di Institut Filsafat Teologia, seperti seminari yang merupakan pendidikan akhir pastur. Dan salah satu biarawati yang mendapat keistimewaan itu adalah Irena.

Di usianya yang 19 tahun, Irena harus menekuni dua pendidikan sekaligus, yaitu pendidikan di biara dan di seminari. Dia mengambil Fakultas Comparative Religion, Jurusan Islamologi. Di tempat inilah untuk pertama kalinya dia mengenal Islam.


Awal Mengenal Islam

Di awal perkuliahan, dosen memberi pengantar bahwa agama terbaik adalah Kristen, sedangkan agama lain tidak baik. Sang dosen mengatakan bahwa Islam adalah agama yang jelek. Sang dosen membawakan pengantar: Di Indonesia yang melarat itu siapa? Yang bodoh siapa? Yang kumuh siapa? Yang tinggal di bantaran sungai siapa? Yang kehilangan sandal tiap hari Jumat siapa? Yang berselisih paham tidak bisa bersatu siapa? Yang jadi teroris siapa? Semua menunjuk pada Islam, sehingga sang dosen mengatakan bahwa Islam itu jelek.

Namun, Irena ternyata tidak menelan mentah-mentah perkataan sang dosen. Dia mengatakan bahwa kesimpulan itu perlu diuji. Dia mencontohkan negara lain seperti Filipina, Meksiko, Italia, Irlandia, dan negara-negara mayoritas Kristen lain tak kalah amburadulnya. Dia juga menyebutkan negara-negara penjajah hingga terbentuknya negara Amerika dan Australia, dan terbentuknya negara Israel yang awalnya tidak punya wilayah kemudian merampok Palestina. Dia menyatakan bahwa Islam adalah simbol keburukan tidaklah terbukti. Dia kemudian tertarik mempelajari masalah ini. Untuk tujuan itu, dia meminta izin pada pastur untuk mempelajari Islam dari sumbernya sendiri, yaitu Al-Quran dan al-Hadits. Izin kemudian diberikan dengan catatan, Irena harus mencari kelemahan Islam.


Suroh Al-Ikhlash

Pertama kalinya memegang Kitab Suci Al-Quran, Irena kebingungan. Dia tidak mengetahui mana yang depan, mana yang belakang, mana atas dan mana bawah. Dia semakin kebingungan setelah mengamati bentuk hurufnya. Dia kemudian mempelajari Al-Quran dari terjemahannya.

Irena yang belum mengerti bahwa membaca Al-Quran dimulai dari kanan, membuka Al-Quran dari kiri. Yang pertama dia lihat adalah Suroh Al-Ikhlash.

Irena kemudian membaca terjemahan Suroh Al-Ikhlash dan memujinya karena terjemahannya bagus. Suara hatinya membenarkan bahwa ALLAH itu ahad, ALLAH itu satu, ALLAH tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang menyamai DIA. Irena memuji suroh tersebut, “Ini kok bagus, dan bisa diterima.”


Ketika kuliah Teologia pagi harinya, dosen Irena mengatakan bahwa Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapa, Tuhan Putra, dan Tuhan Roh Kudus. Tiga Tuhan dalam satu, satu Tuhan dalam tiga, hal ini yang disebut Trinitas atau Tritunggal. Pada malam harinya, ada suatu dorongan yang membuat Irena ingin mengkaji lagi Suroh Al-Ikhlash. “ALLAHU ahad, ini yang benar,” kata Irena pada akhirnya.


Konsep Trinitas

Hari berikutnya, dialog terjadi antara Irena dan dosen-dosennya.

Irena    : Pastur, saya belum paham hakekat Tuhan.
Pastur  : Yang mana yang anda belum paham?

Sang pastur kemudian maju ke papan tulis dan menggambar setiga sama sisi, AB=BC=CA. Dia menjelaskan bahwa segitiganya satu, sisinya tiga, yang berarti Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga. Tuhan Bapa sama kuasanya dengan Tuhan Putra dan sama kuasanya dengan Tuhan Roh Kudus.

Irena    : Kalau demikian, suatu saat nanti kalau dunia ini sudah modern, iptek semakin canggih, Tuhan kalau hanya punya tiga pribadi, tidak akan mampu untuk mengelola dunia ini. Harus ada penambahnya menjadi empat pribadi.
Pastur  : Tidak bisa!
Irena    : Bisa saja.

Irena kemudian maju ke papan tulis dan menggambar bujur sangkar. Jika sang dosen bisa mengatakan Tuhan itu tiga dengan gambar segitiga sama sisi, maka Irena menggambar bujur sangkar. Dia mengatakan bisa saja disimpulkan bahwa Tuhan itu pribadinya ada empat. Namun, pastur tetap bilang tidak boleh.

Irena    : Mengapa tidak boleh?
Pastur  : Ini dogma, yaitu aturan yang dibuat oleh para pemimpin gereja.
Irena    : Kalau saya belum paham dengan dogma itu bagaimana?
Pastur  : Ya terima saja, telan saja. Kalau anda ragu-ragu, hukumnya dosa!

Meski diakhiri dengan jawaban demikian, malam harinya kembali ada dorongan yang membuat Irena ingin mempelajari Suroh Al-Ikhlas. Hal ini terjadi berkelanjutan, hingga akhirnya dia bertanya kembali pada pastur.

Irena    : Siapa yang membuat mimbar, membuat kursi, meja?

Sang pastur yang mulai curiga tidak mau menjawab.

Pastur  : Coba anda jawab.
Irena    : Itu semua yang membuat tukang kayu.
Pastur  : Lalu kenapa?
Irena    : Menurut saya, semua barang itu walaupun dibuat setahun lalu, sampai 100 tahun kemudian tetap kayu, tetap meja, tetap kursi. Tidak ada satupun yang membuat mereka berubah jadi tukang kayu.
Pastur  : Apa maksud anda?
Irena    : Tuhan menciptakan alam semesta dan seluas isinya termasuk manusia. Dan manusia yang diciptakan 100 tahun lalu sampai 100 tahun kemudian, sampai Kiamat tetap saja manusia. Manusia tidak mampu mengubah dirinya menjadi Tuhan, dan Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan manusia.

Malam harinya, Irena kembali mengkaji Suroh Al-Ikhlash. Hari berikutnya, dia bertanya kembali pada pastur.

Irena    : Siapa yang melantik (ketua) RW?

Bertanya seperti itu, Irena ditertawakan oleh para pastur.

Irena    : Sebetulnya saya tahu.
Pastur  : Kalau anda tahu, mengapa anda tanya? Coba jelaskan.
Irena    : Menurut saya, yang melantik RW itu pasti eselon di atasnya, lurah atau kepala desa. Kalau sampai ada RW dilantik oleh RT, jelas pelantikan itu tidak sah.
Pastur  : Apa maksud anda?
Irena    : Menurut pendapat saya, Tuhan itu menciptakan alam semesta dan seluruh isinya termasuk manusia. Manusia itu hakekatnya sebagai hamba Tuhan. Maka kalau ada manusia melantik sesama manusia untuk menjadi Tuhan, jelas pelantikan itu tidak sah.

Keluar dari biara malam berikutnya, Irena kembali mengkaji Suroh Al-Ikhlash. Dialog-dialog kembali terjadi, sampai pada akhirnya dia bertanya mengenai sejarah gereja.

Menurut semua literatur yang telah dipelajari Irena dan dari kuliah yang diterimanya, Yesus disebut dengan sebutan Tuhan untuk pertama kalinya adalah ketika dia “dilantik” menjadi Tuhan pada 325 Masehi. Irena berkesimpulan bahwa sebelum itu Yesus belum menjadi Tuhan, dan yang melantiknya sebagai Tuhan adalah kaisar Konstantin, kaisar Romawi.

Pelantikan Yesus sebagai Tuhan terjadi pada sebuah Conseni/Konsili (muktamar/konferensi para uskup) di kota Nicea. Pada waktu itulah Yesus pertama kalinya berpredikat sebagai Tuhan. Irena mengajak umat Kristen di seluruh dunia untuk mencari cukup satu ayat saja dalam Injil – Matius, Markus, Lukas, Yohanes – yang berisi satu kalimat Yesus yang menyatakan “Aku Tuhanmu”. Dia mengatakan tidak ada satupun ayat seperti itu.

Para pastur yang mendengar hal itu kaget bukan main dan menganggap Irena sebagai biarawati yang kritis. Hingga pertemuan berikutnya, Irena ternyata tidak mampu menemukan kelemahan Al-Quran yang selama ini dia pelajari. Dia bahkan yakin tidak ada manusia yang mampu.

Kebiasaan mengkaji Al-Quran tetap Irena teruskan. Hingga pada akhirnya, Irena berkesimpulan bahwa agama yang haq itu cuma satu, Islam.


Keluar Dari Biara

Irena kemudian mengambil keputusan besar, yaitu keluar dari biara. Hal tersebut merupakan hasil proses pertimbangan dan perenungan yang dalam, termasuk melalui surat dan ayat. Bahkan, Irena mengenal sosok Maryam yang sesungguhnya dari Al-Quran Suroh Maryam. Padahal dalam doktrin Katholik, Maryam mendapat tempat yang sangat istimewa. Nyaris tidak ada doa tanpa melalui perantaranya, namun anehnya tidak ada Injil Maryam.

Irena keluar dari biara dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama ALLAH. Namun, tidak saat itu juga dia bersyahadat. Dia baru bersyahadat enam tahun kemudian. Selama masa enam tahun tersebut, dia masih bergelut melakukan pencarian. Dia diterpa berbagai macam persoalan, kesedihan, kesenangan, suka dan duka. Sedih karena dia harus meninggalkan keluarganya. Reaksi orangtuanya pun bingung bercampur sedih.

Irena melanjutkan kuliah di Universitas Atmajaya. Dia kemudian menikah dengan seorang Katholik. Harapan dia adalah, dengan menikah maka dia tidak akan lagi terusik dengan pencarian agama. Dia berpikir, setelah menikah semuanya akan selesai. Namun, ternyata diskusi seperti itu tetap berjalan, apalagi suaminya adalah aktivis kampus. Mereka kerap berdiskusi dan selalu berakhir dengan pertengkaran. Jika Irena mulai bicara tentang Islam, suaminya menyudutkan, dan Irena tidak menyukai jika sesuatu dihujat tanpa alasan. Jika disudutkan, maka Irena akan membela, dan hal itu membuat jurang pemisah antara dia dan suaminya semakin lebar, hingga sampai pada puncaknya.


Bersyahadat

Irena menganggap rumah tangganya sudah tidak bisa diteruskan dan tidak mungkin bertahan lama. Dia kemudian mulai mencari ustadz untuk belajar Islam karena sebelumnya dia hanya belajar melalui buku.

ALLAH kemudian mempertemukan Irena dengan ustadz yang bagus, salah satunya adalah KH. Misbah (Alm.), mantan Ketua MUI Jawa Timur. Irena beberapa kali berkonsultasi dengan sang kyai dan mengemukakan niat untuk memeluk Islam. Sang kyai tiga kali menjawab dengan jawaban yang sama, “Masuk Islam itu gampang, tapi apakah anda sudah siap dengan konsekuensinya?”

Irena    : Siap!
Kyai     : Apakah anda tahu konsekuensinya?
Irena    : Pernikahan saya.
Kyai     : Kenapa dengan pernikahan anda, mana yang anda pilih?
Irena    : Islam!

Pada akhirnya, rohmat ALLAH datang kepada Irena Handono. Irena kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan sang kyai, pada 1983 di usinya yang ke 26. Setelah resmi memeluk Islam, dia mengurus perceraiannya dengan sang suami yang tetap pada agamanya. Pernikahan yang berlangsung lima tahun tersebut berbuah tiga orang anak, satu wanita dan dua laki-laki, dan mereka semua mengikuti jejaknya memeluk Islam.


Sholat Pertama Kali

Satu hari sebelum Ramadhan 1983, Irena langsung melaksanakan sholat. Saat itu, salah satu kakaknya mencarinya. Karena rumah yang besar dan terdapat banyak kamar, kakaknya mencarinya sambil berteriak. Dia kemudian membuka kamar Irena dan terkejut. “Kok ada perempuan sholat?” kata kakaknya. Dia berpikir bahwa yang sholat adalah orang lain, dan kemudian menutup pintu.

Hari berikutnya, kakak Irena yang lain mencarinya. Dia kemudian mengetahui bahwa yang sedang sholat itu adalah adiknya. Usai sholat, Irena tidak mau lagi menyembunyikan keislamannya yang selama ini dia tutupi. Kakaknya terkejut luar biasa, tidak menyangka ternyata adiknya sendiri yang sedang sholat. Dia tidak bisa bicara, wajahnya seketika merah dan pucat. Sejak itu, keretakan antara Irena dan kakaknya mulai terjadi.


Meninggalkan Rumah

Irena memutuskan untuk meninggalkan rumah karena keislamannya tidak diterima keluarganya. Dia kemudian mengontrak rumah sederhana di Kota Surabaya. Meski begitu, ibunya tetap tidak mau kehilangan Irena, apalagi dia adalah anak wanita satu-satunya. Ibunya sering menjenguk sesekali hingga enam tahun kemudian dia meninggal. Setelah sang ibu meninggal, tidak ada kontak lagi antara Irena dengan ayah atau anggota keluarga yang lain.

Irena sempat berdakwah pada ibunya, meski ketegangan-ketegangan tetap terjadi. Islam, bagi sang ibu, identik dengan hal-hal yang dicontohkan oleh sang pastur saat Irena pertama kuliah. Pendapat sang ibu yang sudah terpola sangat susah diubah, apalagi dia sudah berusia lanjut.


Mulai Berdakwah

Pada 1992, Irena Handono menunaikan Rukun Islam ke-5. Selama memeluk Islam hingga naik haji, Irena selalu menggerutu kepada ALLAH dengan sedikit kesal, “Kalau Engkau, ya ALLAH, menakdirkanku sebagai seorang yang mukminah, mengapa Engkau tidak menakdirkanku menjadi anak orang Islam, punya bapak Islam, dan ibu orang Islam, sama seperti saudara-saudara Muslim yang kebanyakan itu. Dengan begitu, aku tidak perlu mengalami banyak penderitaan. Mengapa jalan hidupku harus berliku-liku seperti ini?”

Di Masjidil Haram, Irena bersungkur mohon ampun, dilanjutkan sujud syukur. Dia bersyukur mendapat petunjuk dengan perjalanan hidupnya yang seperti itu. Islam adalah agama hidayah, agama haq. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Manusia diberi oleh ALLAH berupa akal, budi, emosi, dan rasio. Agama Islam adalah agama untuk orang berakal. Semakin dalam daya analisis kita, insya ALLAH, ALLAH akan memberi. ALLAH berfirman, “Apakah sama orang yang tahu dan yang tidak tahu?”

Sepulang haji, hati Irena semakin terbuka dengan Islam. ALLAH Ta’âla berkehendak memberikan kemudahan padanya dalam belajar agama Tauhid ini. Tidak banyak kesulitan yang dialami Irena dalam mempelajari kitab-kitab. ALLAH memberi kekuatan padanya untuk berbicara dan berdakwah. Dia menjadi begitu lancar berdakwah dan banyak diundang untuk berdakwah. Tak hanya di Surabaya, dia juga kerap diundang berdakwah di Jakarta.

ALLAH kemudian memberi Irena pasangan hidup. Melalui pertemuan yang Islami, sang calon suami yang merupakan ulama, melamarnya. Dia adalah Masruchin Yusuf, duda lima anak yang istrinya telah meninggal dunia. Mereka berdua sama-sama aktif berdakwah hingga pelosok desa.

Irena Handono, dalam dirinya terus menekankan bahwa:
Hidupku, matiku, hanya karena ALLAH.


Sumber:
Penuturan Hj. Irena Handono kepada Siwi Wulandari dari majalah “Hidayah”.

P.S.

Silakan kalau mau copy-paste, dan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.



Related Posts:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar