Sabtu, 19 Januari 2013

SHALAT BERJAMAAH TIDAK DI RUMAH

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم


Dengan dalih supaya anggota keluarga, utamanya anak-anak terkontrol shalatnya, atau melatih si kecil agar mengenal ibadah shalat sejak dini, maka muncullah gejala menyediakan ruang di dalam rumah yang dikhususkan untuk ibadah, dalam hal ini shalat berjamaah dengan imam sang ayah. Padahal, masjid atau musholla tidak seberapa jauh dari rumah tinggal. Keputusan sang ayah sebagai pemimpin keluarga, dalam hal ini kurang tepat. Lantaran syariat telah menetapkan, bahwa pelaksanaan shalat fardhu secara berjamaah dilakukan di tempat yang khusus, yaitu masjid-masjid. Kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika turun hujan. Dan konsekuensinya, dengan tidak mendatangi masjid, berarti pahala yang dijanjikan, berupa keterpautan 27 atau 25 kebaikan dibandingkan shalat sendirian pun tak dapat diraihnya. Artinya, mestinya ia tetap pergi ke masjid untuk menjalankan shalat fardhu secara berjamaah.

Menurut pemahaman para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat berjamaah berlaku di masjid-masjid jami’ atau masjid-masjid umum, bukan di dalam rumah. [Faidhul-Bâri, 2/72, 193] Para sahabat berduyun-duyun ke masjid bila ingin memperoleh pahala shalat jamaah, bukan menunaikannya di tempat tinggal mereka. Bila shalat jamaah terlewatkan, baru mereka menjalankan shalat wajib di rumah. Jadi, shalat jamaah mereka hanya di masjid saja. 

Ibnu Nujaim rahimahullah berkata, “Barang siapa melaksanakan shalat jamaah di rumah, ia tidak mendapatkan pahala shalat jamaah, kecuali karena ada udzur (yang dibenarkan syariat).”

Landasan penjelasan ini ialah hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:
Shalat seseorang di jamaah lebih besar dibandingkan shalatnya di rumah dan pahalanya sebanyak dua puluh lima lipat. Demikian pula, tatkala ia berwudhu dan mengerjakannya dengan baik, kemudian ia keluar menuju masjid, tidak keluar melainkan untuk mengerjakan shalat (jamaah), tidaklah ia melangkahkan kakinya kecuali akan mengangkat derajatnya dan menghapus kesalahannya. Apabila ia sedang menjalankan shalat, maka malaikat akan senantiasa mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya (dengan doa): “Ya Allah, berikanlah kebaikan baginya. Ya Allah, rahmatilah dia”. Dan salah seorang dari kalian tetap berada dalam kondisi shalat selama menantikan shalat”. [HR al-Bukhari].

Makna pernyataan “kemudian ia keluar menuju ke masjid” merupakan ‘illah (alasan) yang manshushah (eksplisit, sangat jelas) tertuang dalam hadits, sehingga tidak boleh dikesampingkan.[ Al-Ma’alim, 138 ] Adapun dalam masalah mendidik dan melatih anak-anak agar mau menjalankan ibadah shalat, ada cara lain yang telah dicontohkan. 


Mendidik Anak dengan Shalat Sunnah

Shalat yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim (laki-laki) di rumah tinggalnya, sebenarnya sudah ditentukan. Yaitu pada shalat-shalat nawâfil (shalat-shalat sunnah), semisal shalat rawaatib, dhuha, dan lainnya.

Disebutkan dalam riwayat dari Zaid bin Tsabit aadhiyallaahu anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sungguh, sebaik-baik shalat, (ialah) shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat maktubah (shalat wajib). [HR al-Bukhari dan Muslim]

Dengan melaksanakan shalat sunnah di rumah, berarti seseorang telah mengaplikasikan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan menghidupkannya (ihyâ ‘us-sunnah). Dan lagi, dengan melaksanakan shalat sunnah di rumah, berarti menambah tingkat keikhlasan dan pahala, karena jauh dari pandangan orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbicara tentang keutamaan shalat sunnah di rumah:
Shalat sunnah seseorang dengan tanpa dilihat oleh manusia, (pahalanya) menyamai shalatnya di tengah-tengah manusia sebanyak dua puluh lima derajat. [Shahîh al-Jâmi’, no. 3821]

Syaikh ‘Abdul ‘Azîz as-Sad-hân menyebutkan fungsi lain dalam hal pelaksanaan shalat sunnah oleh orang tua di rumah. Yaitu manfaat yang bersifat tarbawi (edukatif). Anak-anak akan terpengaruh dengan apa yang dilakukan sang ayah. Anak-anak menyaksikan sang ayah yang sedang menjalankan shalat (sunnah) dengan mata kepala mereka sendiri.

Ini terkait dengan sifat bawaan anak-anak, yaitu suka meniru apa yang dilakukan oleh orang tua mereka. Melalui sifat inilah, anak-anak diharapkan mendapatkan pengaruh positif dari shalat sunnah. Kemudian tertanam pada jiwa mereka mengenai cara menjalankan ibadah shalat secara baik dan benar. Sehingga terkadang bisa dilihat, si anak berdiri berjajar dengan ayah, atau menirukan beberapa gerakan dalam shalat. Dalam hal ini, berarti sang ayah telah mendidik anak-anak (dan anggota keluarganya) melalui keteladanan (at-tarbiyah bil-qudwah)


Thanks for reading ^_^

Sumber:
Diambil dari page “Yusuf Mansur Network” di facebook yang disarikan dari kitab “Al-Qaulul-Mubîn fî Akhthâ`il Mushallin” halaman 266-268.

PS:
Silakan kalau mau copy-paste, namun kalau tidak keberatan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.



Related Posts:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar