Kamis, 30 Mei 2013

HUKUM MEMERANGI ORANG KAFIR

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Ada tiga golongan orang kafir yang haram diperangi.


(1)   Kafir dzimmi

Kafir dzimmi adalah orang kafir yang membayar jizyah, atau semacam pajak yang dipungut tiap tahun karena mereka tinggal di negeri kaum Muslim.

ALLAH TA’ĀLA berfirman:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada ALLAH dan tidak (pula) kepada Hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh ALLAH dan Rasul-NYA dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama ALLAH), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. [At-Taubah : 29]

Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun. [HR An-Nasa’i. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih.]


(2)   Kafir mu’ahad

Kafir mu’ahad adalah orang kafir yang telah menjalin kesepakatan dengan kaum Muslim untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati.

Dalam bab “Dosa orang yang membunuh kafir mu’ahad tanpa melalui jalan yang benar”, Imam Bukhari meriwayatkan, dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Siapa yang membunuh kafir mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun. [HR Bukhari no. 3166]

Jika membunuh orang kafir mu’ahad tanpa sengaja, ALLAH mewajibkan diat dan kafaroh sebagaimana firman-NYA:
Dan jika ia (yang terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada ALLAH. Dan adalah ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [An-Nisā’ : 92]


(3)   Kafir musta’man

Kafir musta’man adalah orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum Muslimin atau sebagian kaum Muslimin.

ALLAH TA’ĀLA berfirman:
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman ALLAH, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. [At-Taubah : 6]

Dari Ali bin Ali Thalib, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dzimmah kaum Muslimin itu ada satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun). [HR Bukhari dan Muslim]
           
An-Nawawi mengatakan, “Yang dimaksudkan dengan dzimmah dalam hadits tersebut adalah jaminan keamanan. Maknanya adalah bahwa jaminan kaum Muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui). Oleh karena itu, siapa saja yang diberikan jaminan keamanan dari seorang Muslim, maka haram atas Muslim lainnnya untuk mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam jaminan keamanan.” [Syarh Muslim, 5/34]

Orang kafir yang boleh diperangi adalah orang kafir selain tiga golongan tersebut, yaitu kafir harbi.



Sumber:

Referensi (seperti yang tercantum pada sumber):
Shahih At Targhib wa At Tarhib, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif – Riyadh
Syarh Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam
Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsiri Kalamil Mannan, Syeikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah


P.S.
Silakan kalau mau copy-paste, namun mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.

Rabu, 29 Mei 2013

RASULULLAH SHOLLALLÔHU ‘ALAIHI WASALLAM DALAM KITAB TAURAT

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Imam Ibnu al-Qayyim pernah mengemukakan tentang adanya beberapa teks Taurat yang beredar pada masa hidupnya (sekitar 751 Hijrah), yang disembunyikan dari kitab-kitab suci mereka yang sekarang. Beliau menyebutkan bahwa ALLAH berfirman:

Akan AKU datangkan kepada Bani Israel seorang nabi dari saudaramu yang seperti kamu, yang AKU jadikan firman-KU pada mulutnya. Ia mengatakan kepada mereka apa yang AKU perintahkan kepadanya, dan barangsiapa tidak mau menerima perkataan nabi yang mengatasnamakan diri-KU itu, niscaya AKU akan menyiksanya berikut anak keturunannya.

Oleh karena nas ini beredar di tangan orang-orang Yahudi Jazirah Arab dan para pendahulu mereka hingga akhir abad 9 Hijrah, Imam Ibnu al-Qayyim pun berusaha keras menganalisis mengapa kaum Yahudi menolak ayat tersebut dan kemudian mengubah makna-maknanya. Beliau mengatakan:

“Nas ini tidak mungkin ditolak atau diingkari oleh siapapun di antara mereka (orang-orang Yahudi). Akan tetapi, di kalangan Ahlul al-Kitab terdapat empat cara menafsirkannya. Salah satunya membawa kemungkinan artinya pada al-Masih. Inilah metode orang-orang Nashrani. Sementara itu, orang-orang Yahudi mempunyai tiga metode.
Pertama, dalam nas itu dilakukan pembuangan tanda tanya yang – bila diperkirakan – akan berbunyi: ‘Akankah AKU akan datangkan kepada Bani Israel seorang nabi dari saudara-saudaramu.’ Dengan demikian, pengertiannya akan menjadi: ‘Tidak mungkin AKU lakukan hal itu.’ Dengan demikian, kalimat tersebut merupakan kalimat tanya yang mengandung makna penolakan (istifhām inkāri), yang tanda tanyanya dibuang dari kalimat tersebut.
Ke dua, kalimat itu merupakan informasi dan janji, tapi yang dimaksud dengan nabi di situ adalah Samuel yang juga seorang nabi dari kalangan Bani Israel. Nubuat disampaikan dengan kalimat, ‘Seorang nabi dari saudara-saudaramu’, yakni dari kaum mereka sendiri.
Ke tiga, yang dimaksud dengan nabi di situ adalah seorang nabi yang diutus ALLAH di Akhir Zaman, yang akan menegakkan kerajaan Yahudi dan membuat martabat mereka terangkat, yang hingga kini masih mereka tunggu-tunggu kedatangannya.”

Sementra itu, kaum Muslim berpendapat bahwa nabi dalam nas tersebut adalah seorang nabi yang berasal dari Arab, Muhammad bin Abdullah, dan tidak mungkin nabi yang lain. Alasan logisnya, dalam nas tersebut disebutkan bahwa ia adalah seorang nabi dari saudara-saudara Bani Israel, dan bukan dari kalangan Bani Israel. Dan tidak mungkin juga Isa ‘alaihissalam, atau al-Masih, karena beliau termasuk Bani Israel. Jika yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah al-Masih, maka kalimatnya akan berbunyi, “Akan Kudatangkan seorang nabi dari kalangan kalian sendiri”, seperti firman ALLAH dalam Al-Quran berikut ini:

Sesungguhnya ALLAH telah memberi karunia kepada orang-orang Mukmin ketika DIA mengutus seorang rasul dari golongan mereka sendiri ……… [Ali Imran: 164]

Lantas, apa yang dimaksud dengan “saudara-saudara Bani Israel”? Jawabannya, tak lain dan tak bukan adalah Bani Ismail. Israel adalah nama lain Nabi Ya’qub ‘alaihissalam (cucu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam). Nama ini kemudian mereka jadikan nisbat untuk keturunannya. Dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam adalah keturunan Nabi Ismail ‘alaihissalam. Sangat tidak masuk akal dalam bahasa umat manapun bila dikatakan bahwa saudara-saudara Bani Israel adalah Bani Israel itu sendiri, seperti halnya kalimat “saudara-saudara Zaid”, yang tentunya Zaid tidak termasuk di dalamnya.

Dalam nas itu juga disebutkan bahwa ia adalah “seorang nabi yang sepertimu”, yang berarti nabi yang memiliki syariat universal seperti Nabi Musa ‘alaihissalam. Nabi tersebut bukanlah Samuel ‘alaihissalam, karena Nabi Samuel ‘alaihissalam berasal dari Bani Israel. Samuel ‘alahissalam juga tidak seperti Musa ‘alaihissalam karena Taurat memang tidak pernah menyebutkan bahwa ALLAH pernah mengutus nabi yang seperti Nabi Musa ‘alaihissalam. Nabi tersebutpun bukanlah Yusa ‘alaihissalam, karena beliau hidup di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam. Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa nabi yang akan diutus adalah nabi sesudah Musa ‘alaihissalam. Nabi Harun ‘alaihissalam juga bukanlah nabi tersebut. Apalagi, beliau wafat sebelum Nabi Musa ‘alaihissalam. ALLAH mengangkat Harun ‘alaihissalam sebagai nabi semasa hidup Nabi Musa ‘alaihissalam (Harun ‘alaihissalam adalah adik Musa ‘alaihissalam).

Dalam ayat tersebut juga disebutkan bahwa kepada nabi tersebut diturunkan Kitab Suci yang sampai kepada manusia melalui mulutnya. Hal ini jelas tidak mungkin diartikan sebagai nabi lain sesudah Nabi Musa ‘alaihissalam selain Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam. Dan hal ini jugalah yang merupakan salah satu tanda kenabian beliau seperti yang diberitahukan oleh nabi-nabi terdahulu. ALLAH berfirman:

Dan sesungguhnya ia (firman ALLAH itu) benar-benar diturunkan dari sisi Tuhan semesta alam. Ia dibawa turun oleh Ruh al-Amin (Malaikat Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu termasuk orang-orang yang memberi peringatan, dengan Bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya ia (firman ALLAH itu) benar-benar tersebut dalam kitab-kitab orang-orang terdahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? [Asy-Syu’arā: 192-197]

Kaum Nashrani berpendapat bahwa Isa adalah tuhan yang harus disembah sehingga ia terlalu mulia untuk dimasukkan sebagai kalangan “saudara-saudara Bani Israel”, sehingga nabi dalam nas tersebut pastilah al-Masih. Namun, kalau mereka memang menganggap bahwa Isa adalah tuhan, tentu saja hal ini menjadi kontradiktif. Dalam nas tersebut disebutkan bahwa nabi tersebut adalah utusan ALLAH, yakni seorang makhluk yang diutus ALLAH dan berasal dari kalangan manusia dari saudara Bani Israel. Dengan demikian, yang diyakini orang Nashrani (bahwa nabi tersebut adalah Isa) tidak masuk di akal.

Ayat yang dikutip oleh Imam Ibnu al-Qayyim itu sudah tidak ditemukan lagi dalam Taurat yang sekarang.


Wallāhu a’lam.



Sumber:
Buku “Menyongsong Imam Mahdi: Sang Penakluk Dajjal”, 2009 (cetakan IV), karya Muhammad Isa Dawud

PS:
Silakan kalau mau copy-paste, namun mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.

Senin, 27 Mei 2013

IMAM MAHDI: FAKTA ATAU DONGENG?

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Sebagian Muslim menganggap remeh persoalan mengenai Imam Mahdi dan mengalami hambatan dalam meyakininya. Hal ini terjadi karena hadits-hadits mengenai Imam Mahdi dianggap hanya mencapai derajat mutawatir. Beberapa pengkaji masalah Imam Mahdi juga melontarkan kemusykilan karena tidak adanya hadits-hadits tentang Imam Mahdi pada dua sumber penting hadits, yaitu Shohih Bukhari dan Shohih Muslim.

Kecuali Shohih Bukhari dan Muslim (Shohihain), seluruh kitab hadits mencantumkan hadits-hadits tentang Imam Mahdi: Shohih at-Tirmidzi, Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan kitab-kitab lain.

Mengenai perkara ini, Abdullah al-Gharifi memberikan tiga penjelasan.

(1)   Shohih Bukhari dan Muslim belum mencakup seluruh hadits shohih. Al-Bukhari sendiri pernah menegaskan bahwa ia belum mencatat seluruh hadits (yang dianggap) shohih. Bahkan hadits-hadits shohih yang belum dicantumkan dalam kitabnya masih jauh lebih banyak daripada yang sudah dicantumkan. Banyak ulama dan ahlul hadits mendukung pendapat bahwa masih banyak sekali hadits shohih yang belum tercantum dalam Shohihain.
Oleh karena itulah, terdapat ulama semisal al-Hakim yang menyusun kitab berjudul Mutadrak ash-Shohihain, yang di dalamnya ia menghimpun sejumlah besar hadits shohih yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dan sesuai pula dengan tolak ukur yang mereka berdua gariskan untuk hadits-hadits shohih mereka namun belum disebutkan dalam kitab shohih mereka. Dengan demikian, tidak semua hadits yang tidak disebutkan dalam Shohihain harus dianggap sebagai hadits tertolak atau tidak shohih.

(2)   Terdapat beberapa perkara yang dianggap dapat diterima di kalangan Ahlu as-Sunnah yang diyakini sebagai hal yang telah terbukti kebenarannya meski perkara tersebut tidak disebutkan sama sekali dalam Shohihain. Contohnya adalah hadits tentang 10 orang yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga. Hadits ini tidak disebutkan dalam Shohihain. Jika hadits tentang Imam Mahdi ditolak semata-mata hanya karena tidak disebutkan dalam Shohihain, mengapa hadits tentang 10 orang yang dijamin masuk surga tersebut tidak ditolak juga? Sumber tentang hadits ini sedikit sekali jumlahnya, tapi sumber tentang Imam Mahdi jumlahnya mencapai derajat mutawatir.

(3)   Al-Bukhari dan Muslim memang menyebutkan tentang Imam Mahdi, namun tanpa penegasan keshohihannya. Dalam bab “al-Hadits ‘an Akhir az-Zaman wa Nuzūl Isa ‘Alaihi as-Salam”, Imam Bukhari mengemukakan kalimat “wa imāmukum minkum” dalam sebuah hadits yang diterima dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, yang berarti bahwa ketika Nabi Isa ‘alaihissalam turun di Akhir Zaman, beliau shalat sebagai makmum di belakang imam (pemimpin) umat ini. Lalu, siapakah imam kaum Muslim yang menjadi imam shalat Nabi Isa ‘alaihissalam di Akhir Zaman tersebut?

Hadits-hadits dalam sumber lain menegaskan bahwa imam tersebut adalah Imam Mahdi. Dalam riwayat Muslim dikemukakan kalimat berikut, “Dan amir-mu adalah dari kalanganmu, yang di belakangnya al-Masih, Isa ‘alaihissalam, shalat (sebagai makmum).”

Dalam derajat siginifikan, hadits-hadits ini sudah mencapai derajat mutawatir. Bahkan terdapat sebuah hadits yang diriwiyatkan oleh al-Humawaini asy-Safi’i dalam kitabnya “Farā’id as-Samathain” yang berbunyi, “Sesungguhnya Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa mengingkari munculnya Imam Mahdi, sungguh ia telah kafir pada apa yang diturunkan kepada Muhammad.” Namun, Abdullah al-Gharifi berkomentar mengenai hadits ini:

“Sekiranya di dalam hadits ini terdapat sesuatu yang dipandang ganjil dan ditolak, dan karena sanad-nya dipandang tidak bersambung kepada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, dan juga karena seorang Muslim tidak akan dinyatakan kafir karena pengingkarannya terhadap sesuatu yang tidak tergolong dalam kategori ‘keharusan dalam agama’ (al-ma’lūm fi ad-din bi adh-dharūrah), maka yang demikian itu memang benar – yakni, hadits ini keluar dari kategori mutawatir, ganjil (syadz), dan tidak perlu diperhatikan. Hanya saja, orang itu tidak dinyatakan kafir karena pengkafiran (at-takfir) merupakan perkara yang sangat serius dalam wacana keislamanan, sepanjang mereka masih dalam koridor aman Lā ilāha illā ALLAH, Muhammadur Rasulullah.
Jika persoalan Imam Mahdi yang memiliki sumber berlimpah dalam bentuk riwayat-riwayat dan hadits-hadits ini dipandang sebagai dongeng dan khurafat, maka kita tidak mungkin menemukan satu persoalan pun dalam khazanah keislaman yang bukan khurafat. Sebab, sebagian besar persoalan yang terdapat dalam Islam memiliki sumber yang melimpah ruah dalam bentuk riwayat dan hadits.” [Abdullah al-Gharifi, Ahadits wa Kalimat hawl al-Imam al-Muntazhar, Maktabah al-Hidayah]

Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa hadits tentang Imam Mahdi yang bisa dijadikan landasan berjumlah 50. Sebagian shohih, sebagian hasan, dan yang lainnya dhaif. Tidak diragukan lagi bahwa hadits-hadits tersebut mutawatir. Riwayat-riwayat yang bersumber dari para sahabat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam (al-atsar) jumlahnya tak kalah banyaknya dan memberi nilai positif. [risalah Asy-Syaukani, at-Tawdhih fi Tawatur Ma Ja’a fi al-Muntazhar wa ad-Dajjal wa al-Masih]

Dalam kitab al-Fath ar-Rabbāni, asy-Syaukani juga menyatakan bahwa hadits-hadits yang bisa dipercaya tentang Imam Mahdi berjumlah 50, sedangkan riwayat yang bersumber dari para sahabat berjumlah 28. Jumlah semua hadits dan riwayat yang dapat kita kumpulkan mencapai derajat mutawatir bila ditelaah secara mendalam.


Wallāhu a’lam.


Thanks for reading  ^_^

Sumber:
Buku “Menyongsong Imam Mahdi: Sang Penakluk Dajjal”, 2009 (cetakan IV), karya Muhammad Isa Dawud

PS:
Silakan kalau mau copy-paste, namun kalau tidak keberatan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.

Minggu, 26 Mei 2013

SILSILAH IMAM MAHDI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Hadits-hadits shahih menyatakan bahwa Imam Mahdi berasal dari Ahlul Bait Nabi yang mulia, yang jalur keturunannya mengakar pada al-Hasan radhiyallāhu anhu. Ada juga yang berpendapat bahwa beliau berasal dari keturunan al-Husain radhiyallāhu anhu. Namun, hadits-hadits yang lebih kuat menegaskan bahwa Imam Mahdi berasal dari keturunan al-Hasan radhiyallāhu anhu. Dalam sebuah hadits marfu’ yang diterima dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Al-Mahdi adalah anak-cucu al-Hasan bin Ali. Ia menguasai urusan kaum Muslim, yang seluruh keadaan dirinya baik, dan rencana ALLAH sungguh hebat.

Al-Alamah bin Hajar al-Makki berpendapat bahwa Imam Mahdi merupakan keturunan al-Hasan radhiyallāhu anhu. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam juga bersabda kepada Fathimah:
Demi ZAT yang mengutusku dengan benar sebagai Nabi, sesungguhnya dari mereka berdua (al-Hasan dan al-Husain) Mahdi umat ini.
Hal ini berarti bahwa jalur keturunan ayah Imam Mahdi mengakar pada al-Hasan, sedangkan jalur ibunya mengakar pada al-Husain.

Diriwayatkan pula bahwa pamannya dari pihak ibu adalah al-Harits bin Zaid. Hal ini berarti bahwa Imam Mahdi berasal dari keturunan Fathimah radhiyallāhu anha, karena al-Harits adalah anak angkat Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, yang berkaitan dengan dirinyalah (al-Harits) ALLAH menurunkan ayat tentang pelarangan melakukan adopsi. Namun, nama Zaid lebih sering digunakan untuknya sebelum turunnya ayat tersebut. Berdasarkan hal itu, al-Harits dianggap sebagai saudara laki-laki Fathimah radhiyallāhu anha. [Hadits ini di-takhrij oleh Abu Na’im dalam Shifah al-Mahdi yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Fathimah: “Al-Mahdi berasal dari keturunanmu.”]

Diriwayatkan bahwa sanad hadits tersebut bersambung pada Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam. Hadits lengkapnya adalah sebagai berikut:
Dilahirkan dari Fathimah seorang cucu, yang paling membahagiakan hatinya sesudah wafatnya. Ia adalah Mahdi umat ini. Pamannya dari ibunya adalah al-Harits dan paman dari ayahnya adalah al-Husain, dan semua keadaan dirinya adalah baik. [HR Abu Hurairah]

Qurrah al-Madani meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sungguh dunia akan dipenuhi oleh kejahatan dan kedzaliman. Ketika kejahatan dan kedzaliman itu telah mengisi seluruh dunia, ALLAH mengutus seorang laki-laki dari keturunanku. Namanya sama dengan namaku, dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku. Kemudian ia memenuhi Bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kejahatan dan kedzaliman. Langit tidak akan dapat mencegah guyuran hujannya, dan Bumi tidak dapat menahan tumbuhnya tanamannya. [HR al-Bazzar, al-Harits bin Abi Usamah, dan ath-Thabrani]

Hudzaifah radhiyallāhu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Sekiranya usia dunia tinggal sehari, maka ALLAh akan mengutus seorang laki-laki yang namanya sama dengan namaku dan akhlaknya sama dengan akhlakku. Ia bergelar Abu Abdillah, yang dibaiat oleh manusia, baik dari kalangan atas maupun bawah, yang dengannya ALLAH menghendaki kejayaan agama-NYA, dan melakukan berbagai pembebasan ke berbagai penjuru dunia, sehingga tidak ada lagi penduduk Bumi yang tidak mengatakan “Lā ilāha illā ALLAH”. [HR Abu Na’im]

Imam Mahdi adalah seorang laki-laki bernama Muhammad bin Abdullah. Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallāhu anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Akan menguasai dunia seorang laki-laki dari Ahlul Baitku. Namanya sama dengan namaku, keluarganya adalah keturunanku. Nama ayahnya sama dengan nama ayahku, dan kakek ibunya adalah juga kakekku.


Wallāhu a’lam.


Thanks for reading  ^_^

Sumber:
Buku “Menyongsong Imam Mahdi: Sang Penakluk Dajjal”, 2009 (cetakan IV), karya Muhammad Isa Dawud

PS:
Silakan kalau mau copy-paste, namun kalau tidak keberatan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.

Sabtu, 25 Mei 2013

PESONA KETAMPANAN NABI YUSUF ‘ALAIHISSALAM

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Dalam Surat Yusuf ayat 23-29, ALLAH berfirman:

Dan wanita yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.”
Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada ALLAH, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.”
Sesungguhnya orang zhalim itu tidak akan beruntung. Dan sungguh, wanita itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda dari Tuhannya. Demikianlah, KAMI palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba KAMI yang terpilih. Dan keduanya berlomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamisnya (Yusuf) dari belakang hingga koyak dan keduanya mendapati suami wanita itu di depan pintu.
Dia (wanita itu) berkata, “Apakah balasan terhadap orang yang bermaksud buruk terhadap istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan siksa yang pedih?”
Dia (Yusuf) berkata, “Dia yang menggodaku dan merayu diriku.”
Seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksian, “Jika baju gamisnya koyak di bagian depan, maka wanita itu benar, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di bagian belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang benar.”
Maka ketika dia (suami wanita itu) melihat baju gamisnya (Yusuf) koyak di bagian belakang, dia berkata, “Sesungguhnya ini adalah tipu dayamu. Wahai Yusuf! Lupakanlah ini, dan (istriku) mohonlah ampunan atas dosamu, karena engkau termasuk orang yang bersalah.”

Majikan Nabi Yusuf ‘alaihissalam bernama Aziz, seorang Menteri Perbendaharaan Negara Mesir. Ibnu Ishaq mengatakan, “Nama Tuan Aziz tersebut adalah Izfir bin Rouhib. Dan raja Mesir kala itu adalah Rayan bin Walid, seseorang yang berasal dari negeri Amalik. Sedangkan istri Tuan Aziz bernama Rael bin Ramael.” [Tarikh Ath-Thabari (1/335) & Tafsir Ibnu Katsir (2/473). Dalam kitab tafsir, nama yang disebutkan adalah Rael bin Ra’ael.]

Ibnu Ishaq juga mengatakan bahwa istri Tuan Aziz adalah kemenakan Raja Rayan bin Walid.

Ulama lain mengatakan, “Nama istri Tuan Aziz adalah Zulaikha. Namun kenyataannya, Zulaikha itu hanyalah laqab-nya (julukan) saja. Lalu ada juga yang menyatakan bahwa namanya adalah Fika binti Yanus.” [Diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi, dari Abu Hisyam Ar-Rifai.]


Kesaksian yang meringankan Nabi Yusuf ‘alaihissalam

“Seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksian.”

Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Hilal bin Yasaf, Hasan Basri, Said bin Jubair, Adh-Dhahhak, dan diunggulkan oleh Ibnu Jarir, meriwayatkan bahwa saksi tersebut adalah balita. Bahkan ada juga yang meriwayatkannya sebagai hadits marfu’ dari Ibnu Abbas. Perawi lainnya meriwayatkannya sebagai hadits mauquf. [Tafsir Ath-Thabari (12/193-195) & Tafsir Ibnu Katsir (2/475)]

Namun, Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, Hasan, Qatadah, As-Suddi, Muhammad bin Ishaq, dan Zaid bin Aslam meriwayatkan bahwa saksi tersebut adalah lelaki dewasa. Wallaahu ‘alam.

ALLAH sudah menjelaskan bahwa Yusuf ‘alaihissalam-lah yang benar. Maksud perkataan Tuan Aziz, “Lupakanlah ini”, adalah bahwa hal tersebut tidak perlu diceritakan kepada siapapun. Tuan Aziz bahkan menyuruh istrinya memohon ampun. Meski kala itu mayoritas penduduk Mesir adalah penyembah berhala, mereka tahu bahwa yang memberikan pengampunan adalah ALLAH. Oleh karena itulah ia menyuruh istrinya memohon ampun, meski ia sedikit memaklumi tindakan istrinya karena tidak ada seorang wanita pun yang dapat menahan gejolak hatinya pada ketampanan Yusuf ‘alaihissalam, apalagi mereka tinggal di satu rumah dan bertemu setiap hari.


Para wanita terpesona pada Yusuf ‘alaihissalam

Dalam Surat Yusuf ayat 30-34, ALLAH berfirman:
           
Dan wanita-wanita di kota berkata, “Istri Al-Aziz menggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, pelayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta. Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.”
Maka ketika wanita itu mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya tempat duduk bagi mereka, dan kepada masing-masing mereka diberikan sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf), “Keluarlah (tampakkanlah dirimu) kepada mereka.”
Ketika wanita-wanita itu melihatnya, mereka terpesona kepadanya (ketampanannya), dan mereka (tanpa sadar) melukai tangannya sendiri.
Seraya berkata, “Maha Sempurna ALLAH, ini bukanlah manusia. Ini benar-benar malaikat yang mulia.”
Dia (istri Al-Aziz) berkata, “Itulah orangnya yang menyebabkan kamu mencela aku karena (aku tertarik) kepadanya, dan sungguh, aku telah menggoda untuk menundukkan dirinya tetapi dia menolak. Jika dia tidak melakukan apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan, dan dia akan menjadi orang yang hina.”
Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku. Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu akan termasuk orang yang bodoh.”
Maka Tuhan memperkenankan doa Yusuf, dan DIA menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. DIA-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Pada ayat ini ALLAH menceritakan tentang para wanita (para pejabat, istri menteri, putri kerajaan) yang menuding istri Tuan Aziz tidak terhormat karena menggoda pelayannya sendiri. Maksud undangan tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa pelayannya bukanlah pelayan biasa dan tidak seperti yang mereka bayangkan.

Dan terbukti, para wanita terpesona pada ketampanan Yusuf ‘alaihissalam. Bahkan saking terpesonanya, mereka tidak sadar dan tidak merasakan pisau yang mereka pegang sebenarnya telah menggores tangan mereka sendiri ketika sedang digunakan untuk jamuan (ada yang mengatakan mereka sedang mengupas apel).

Nabi Yusuf ‘alaihissalam kemudian lebih memilih penjara daripada harus berada dalam kondisi seperti itu. Beliau merasa mungkin tidak akan kuat untuk menahan diri karena hanyalah makhluk yang lemah dan sama sekali tidak bisa memberikan manfaat dan mudharat pada dirinya sendiri kecuali atas kehendak ALLAH, karena hanya ALLAH-lah yang memberi kekuatan, sekaligus Penjaga dan Pemelihara.



Thanks for reading  ^_^

Sumber:
buku Qashash Al-Anbiyaa’, 2002, karya Ibnu Katsir


P.S.
Silakan kalau mau copy-paste, namun mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.

Kamis, 23 Mei 2013

WANITA BERPAKAIAN TAPI TELANJANG


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Berita tentang adanya jenis wanita seperti ini sudah disampaikan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, dan hal ini menjadi tanda benarnya sabda beliau.

Dari Abu Hurairah radhiyallāhu anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia, dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang (kasiyatun ‘ariyatun), berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.
[HR Imam Muslim no. 2128]

Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam. Kedua golongan manusia seperti ini sudah ada di zaman kita saat ini; para penyiksa dan para wanita yang dengan santainya memamerkan bagian-bagian tubuh mereka.


Memaknai “kasiyatun ‘ariyatun”

Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim-nya (9/240) menjelaskan ada beberapa makna “kasiyatun ‘ariyatun” yang disebutkan pada hadits tersebut.

1.      Wanita yang mendapat nikmat ALLAH, namun enggan bersyukur kepada-NYA.
2.      Wanita yang berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya dan enggan taat kepada ALLAH.
3.      Wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud “kasiyatun ‘ariyatun”.
4.      Wanita yang memakai pakaian tipis sehingga tampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian namun telanjang.

Pengertian yang disampaikan An-Nawawi tersebut ada yang bermakna konkret dan yang bermakna maknawi (abstrak). Beberapa ulama lain juga menyatakan hal yang sama.

Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian tipis dan menggambarkan bentuk tubuhnya. Pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakekatnya mereka telanjang. [Jilbab Al Ma’rah Muslimah, 125-126]

Al-Munawi dalam Faidul Qodir-nya menyatakan, “Senyatanya wanita tersebut memang berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” [Faidul Qodir, 4/275]

Ibnu Jauziy menyatakan dalam Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain-nya (1/1031) bahwa “kasiyatun ‘ariyatun” mempunyai tiga makna:
1.      Wanita yang berpakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang berjilbab, namun sebenarnya dia telanjang.
2.      Wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup).
3.      Wanita yang mendapat nikmat dari ALLAH, namun kosong dari syukur kepada-NYA.


Peringatan dan Ancaman

Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam menegaskan, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”

Peringatan ini bukanlah peringatan biasa. Ini merupakan ancaman keras karena perkara ini bukanlah perkara sepele dan dosanya bukanlah dosa yang kecil. Wanita “kasiyatun ‘ariyatun” tidak akan masuk surga dan bahkan tidak akan bisa mencium baunya.

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa “wanita tersebut tidak akan masuk surga” sebagai berikut:
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharamannya, namun masih menganggapnya halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan berpakaian tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat dimaknai juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu-tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallāhu ‘alam.
[Syarh Muslim, 9/240]


Perintah dari ALLAH

Dalam Al-Ahzab ayat 59, ALLAH menegaskan:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak wanitamu dan isteri-isteri orang mukmin, “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Jilbab bukanlah penutup wajah. Jilbab adalah kain yang dipakai wanita setelah memakai khimar sebagai penutup kepala.

Dalam An-Nūr ayat 31, ALLAH juga berfirman:
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”

Berdasarkan tafsir Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad-Dimasqiy, bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. Dari tafsiran ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah mustahab (dianjurkan). [Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14]



Sumber:

Referensi (seperti yang tercantum pada sumber):
Faidul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, Mawqi’ Ya’sub, Asy Syamilah
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Islamiyah-Amman, Asy Syamilah
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh ‘Amru Abdul Mun’im Salim, Maktabah Al Iman
Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, Ibnul Jauziy, Darun Nasyr/Darul Wathon, Asy Syamilah
Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

P.S.
Silakan kalau mau copy-paste, namun mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.

SYARAT-SYARAT PAKAIAN MUSLIMAH


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Pakaian wanita yang benar dan sesuai dengan perintah ALLAH dan tuntunan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam memiliki syarat-syarat. Pakaian yang disebut pakaian muslimah yang dijual di toko-toko muslimah belum tentu sudah memenuhi syarat syar’i.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat ini dan semua ini tidak menunjukkan pada pakaian golongan atau aliran tertentu. Ulama yang merinci syarat-syarat ini dan sangat bagus penjelasannya adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, dan ulama lain yang melengkapi penjelasan beliau adalah Syaikh Amru Abdul Mun’im. Syarat-syarat yang mereka sampaikan berdasarkan Al-Quran dan hadits shohih.

Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Pakaian wanita harus menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan (telapak kaki juga harus ditutupi).
Dalam Al-Ahzab ayat 59, ALLAH menegaskan:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak wanitamu dan isteri-isteri orang mukmin, “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Jilbab bukanlah penutup wajah. Jilbab adalah kain yang dipakai wanita setelah memakai khimar sebagai penutup kepala.
Berdasarkan tafsir Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad-Dimasqiy, bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. Dari tafsiran ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah mustahab (dianjurkan). [Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14]

2.      Pakaian wanita bukanlah pakaian untuk berhias seperti yang banyak dihiasi gambar atau perhiasan.
ALLAH berfiman dalam Al-Ahzab ayat 33:
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang Jahiliyyah pertama.
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang semestinya ditutup karena hal itu dapat menggoda kaum lelaki. Kita harus ingat bahwa perintah berjilbab adalah perintah untuk menutupi perhiasan wanita. Tidak masuk akal bila jilbab yang berfungsi seperti itu malah menjadi pakaian untuk berhias sebagaimana yang marak sekarang.
Dalam An-Nūr ayat 31, ALLAH juga berfirman:
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”

3.      Pakaian tersebut tidak tipis dan tidak tembus pandang yang dapat menampakkan lekuk tubuh. Pakaian juga harus longgar dan tidak ketat sehingga tidak menampakkan lekuk tubuh.
Zaman sekarang banyak sekali kita temukan para wanita berjilbab tapi berpakaian ketat (bahkan sangat ketat). Bahkan yang parah, ada istilah “jilbab seksi”. Seringkali, rambut juga masih terlihat (bahkan tergerai ke luar) walaupun berjilbab.

4.      Pakaian tidak diberi wewangian atau parfum.
Mengenai poin ini, bisa dibaca di sini.

5.      Pakaian tidak boleh menyerupai pakaian pria atau pakaian non-Muslim.
Dari Ibnu Abbas radhiyallāhu anhu:
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria. [HR Imam Bukhari no. 6834]
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka. [HR Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid (bagus).]

6.      Tidak memakai pakaian syuhroh, yaitu pakaian untuk mencari ketenaran dan popularitas.
Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa mengenakan pakaian syuhroh di dunia, niscaya ALLAH akan mengenakan pakaian kehinaan padanya pada Hari Kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka. [HR Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini hasan.]

7.      Pakaian harus terbebas dari salib.
Dari Diqroh Ummu Abdirrahman bin Udzainah:
Dulu kami pernah berthowaf di Ka’bah bersama Ummul Mukminin (Siti Aisyah), lalu beliau melihat wanita yang mengenakan burdah yang terdapat salib. Ummul Mukminin lantas mengatakan, “Lepaskanlah salib tersebut. Lepaskanlah salib tersebut. Sungguh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam ketika melihat hal semacam itu, beliau menghilangkannya.” [HR Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan hadits ini hasan.]
Ibnu Muflih dalam Al Adabusy Syar’iyyah menyatakan, “Salib di pakaian dan lainnya adalah sesuatu yang terlarang. Ibnu Hamdan memaksudkan bahwa hukumnya haram.”

8.      Tidak terdapat gambar makhluk bernyawa (manusia dan hewan) pada pakaian. Gambar makhluk juga termasuk perhiasan, sehingga hal ini termasuk larangan ber-tabarruj.
Dari Aisyah radhiyallāhu ‘anha, beliau berkata:
Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam memasuki rumahku, lalu di sana ada kain yang tertutup gambar (makhluk bernyawa yang memiliki ruh). Ketika Nabi shallallāhu ‘alaihi wasallam melihatnya, beliau langsung mengubah warnannya dan menyobeknya. Setelah itu beliau bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya pada Hari Kiamat adalah yang menyerupakan ciptaan ALLAH.”
[HR Ibnu Abi Syaibah, Imam Bukhari, Imam Muslim, Nasa’i, dan Ahmad.]

9.      Pakaian terbuat dari bahan yang suci dan halal.

10.  Pakaian tersebut tidak dijadikan pakaian kesombongan.

11.  Pakaian tersebut bukan pakaian pemborosan.

12.  Bukan pakaian yang menyesuaikan dengan pakaian ahlu bid’ah, seperti mengharuskan memakai pakaian hitam ketika mendapat musibah. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa pengharusan seperti ini adalah syi’ar batil yang tidak ada landasannya.


Bagi yang ingin membaca penjelasan yang jauh lebih lengkap, silakan lihat kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Kitab ini sudah diterjemahkan dengan judul “Jilbab Wanita Muslimah”. Pelengkapnya bisa dengan kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Amru Abdul.

ALLAH Ta’āla berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai ALLAH terhadap apa yang diperintahkan-NYA kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [At-Tahrim: 6]



Sumber:

Referensi (seperti yang tercantum pada sumber):
Faidul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, Mawqi’ Ya’sub, Asy Syamilah
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Islamiyah-Amman, Asy Syamilah
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh ‘Amru Abdul Mun’im Salim, Maktabah Al Iman
Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, Ibnul Jauziy, Darun Nasyr/Darul Wathon, Asy Syamilah
Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah


P.S.
Silakan kalau mau copy-paste, namun mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.

Minggu, 19 Mei 2013

MENGAPA DISEBUT ISRA-EL?


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Sekarang ini, jika mendengar nama Isra-el, atau Israil, kita sebagai umat Islam merasa tidak nyaman dan merasa bahwa mereka adalah bangsa yang jahat. Ingatan kita juga akan tertuju pada Palestina, yang selalu diserang dan dijajah oleh negara zionis tersebut. Isra-el juga sering dikait-kaitkan dengan berbagai konspirasi busuk dan jahat dalam banyak hal. Bangsa yang juga disebut bangsa Yahudi ini menganggap mereka adalah ras paling unggul di Bumi. Kata “isra-el” sebenarnya mempunyai makna yang sangat mulia, yang makna mulianya ini kemudian dinodai dan diselewengkan oleh bangsa Yahudi sehingga sekarang mereka sering diidentikkan dengan penjahat perang dan konspirator, meski tidak bisa dipungkiri mereka adalah kaum yang cerdas dan jenius.


Asal usul nama Isra-el

Akibat perselisihan dengan saudara kembarnya, Esau, Nabi Ya’qub alaihissalam diperintahkan untuk pergi ke negeri Harran oleh ayahnya, Nabi Ishaq alaihissalam, untuk menemui pamannya. Ketika Ya’qub alaihissalam sedang dalam perjalanan, beliau mencari tempat untuk tidur saat hari semakin gelap. Beliau mengambil sebuah batu untuk dijadikan alas kepala. Beliaupun tertidur.

Dalam tidurnya, Ya’qub alaihissalam bermimpi melihat tangga yang sangat tinggi hingga menembus langit. Tangga tersebut adalah tangga yang digunakan para malaikat untuk naik ke langit dan turun dari langit. Ya’qub alaihissalam tiba-tiba mendengar sumber cahaya yang berkata, “Aku akan memberkati dirimu dan memperbanyak keturunanmu. Aku juga akan menjadikan tanah yang kamu pijak itu sebagai tanahmu dan tanah keturunanmu.”

Ketika terbangun, Nabi Ya’qub alaihissalam gembira dengan kabar yang baru diterimanya. Beliau kemudian bernazar, jika telah kembali kepada keluarganya dengan selamat, beliau akan membangun sebuah rumah penyembahan, dan juga berjanji akan menyisihkan sepersepuluh dari setiap rezeki yang didapatkannya.

Ya’qub alaihissalam kemudian mengambil batu alas tidurnya dan memolesinya dengan minyak sebagai penanda tempat tersebut. Tempat inilah yang di kemudian hari dinamakan Bethel, atau Bait Ell, yang dalam Bahasa Arab berarti “Baitullah” (Rumah ALLAH). Bethel inilah yang sekarang menjadi tempat Baitul Maqdis dan dibangun pertama kali oleh Nabi Ya’qub alaihissalam.

Waktu panjang pun berlalu. Di suatu malam saat Nabi Ya’qub alaihissalam beserta keluarga dan ternaknya dalam perjalanan pulang ke negeri ayahnya, beliau didatangi malaikat yang mengubah diri menjadi manusia. Tidak senang dengan kedatangannya, Ya’qub alaihissalam yang tidak mengetahui penyamaran malaikat itu pun mengajaknya berkelahi. Mereka berdua pun berkelahi. Perkelahian itu sebenarnya lebih dikuasai oleh Ya’qub alaihissalam, namun pada akhirnya sang malaikat berhasil melukai sendi pangkal paha beliau hingga akhirnya beliau jatuh tersungkur.

Ketika fajar menyingsing, sang malaikat bertanya pada Nabi Ya’qub alaihissalam, “Siapa namamu?”
Ya’qub alaihissalam menjawab, “Namaku Ya’qub.”
Malaikat melanjutkan, “Mulai hari ini tidak boleh ada nama lain yang menjadi panggilanmu kecuali Isra-el.”

Dengan wajah masih kebingungan, Nabi Ya’qub alaihissalam bertanya, “Memangnya kamu siapa? Dan siapa namamu?”
Namun, bukannya menjawab, malaikat tersebut malah pergi dari hadapan beliau. Beliau pun mulai memahami bahwa orang yang berkelahi dengannya itu adalah malaikat.

Setelah itu Nabi Ya’qub alaihissalam berdiri dengan luka di sendi pangkal pahanya. Dari kejadian inilah mengapa Bani Israil sampai sekarang tidak memakan daging yang menutupi sendi pangkal paha.

Nama “isra-el” bermakna “hamba/yang dekat dengan ALLAH”. “EL” adalah nama lain ALLAH dalam Bahasa Ibrani, dan “isra” bermakna “hamba/yang dekat”. Namun, ada juga yang menganggap bahwa nama tersebut berarti “berjalan di malam hari”, karena Nabi Ya’qub alaihissalam sering bepergian di malam hari. Nama tersebut kemudian dijadikan nisbat untuk keturunannya, Bani Israil.

Ketika sampai di Desa Sikhem di wilayah Yerusalem, Nabi Ya’qub alaihissalam menetap sementara di desa tersebut, setelah sebelumnya juga beliau menetap sementara di wilayah Sukot. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik Bani Hamud, Abi Sikhem, seharga 100 Kesita. Beliau mendirikan tenda besar untuk ditinggali. Beliau juga membangun sebuah tempat ibadah yang kemudian dinamakan “Bethel”, yang berarti “Rumah ALLAH”. Beliau membangun tempat itu atas perintah ALLAH untuk mengumumkan dan menyebarkan agama di tempat itu. Di kemudian hari, tempat tersebut dinamakan Baitul Maqdis, tempat yang dinamakan Masjid Elia oleh ahlul alkitab, tempat yang sebelumnya Ya’qub alaihissalam meletakkan batu penanda, tempat yang nantinya dibangun kembali oleh Nabi Sulaiman alaihissalam bin Dawud alaihissalam. Nabi Ya’qub alaihissalam mendirikan Masjidil Aqsa setelah Nabi Ibrahim alaihissalam dan Nabi Ismail alaihissalam mendirikan Masjidil Haram.

Masjidil Haram

Masjidil Aqsa 
Nabi Ya’qub alaihissalam mempunyai 12 putra, yaitu Ruben, Simeon, Lewi (garis keturunan Nabi Musa, Harun, dan Ilyas alaihissalam), Yehuda (garis keturunan Nabi Dawud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa alaihissalam), Dan, Naftali, Gad, Asyer, Isakhar, Zebulon, Yusuf alaihissalam (garis keturunan Nabi Ilyasa alaihissalam), dan Benyamin. Bangsa Yahudi merupakan keturunan 12 putra Nabi Ya’qub alaihissalam tersebut.


Thanks for reading  ^_^

Sumber:
buku Qashash Al-Anbiyaa’, 2002, karya Ibnu Katsir


PS:
Silakan kalau mau copy-paste, namun kalau tidak keberatan mohon sertakan link-back ke blog ini. Terima kasih.